Satu

4.1K 96 1
                                    

Adifa Dhaafiyah Rumaiza, nama yang indah sekaligus memiliki paras yang tak kalah indah dengan namanya. Putri bungsu satu-satunya yang dimiliki oleh Azhari dan Yuliana sejak 16 tahun silam. Kehadirannya begitu dinantikan oleh keluarganya. Hal ini dikarenakan kedua orang tuanya telah memiliki 3 orang putera dan sama sekali belum memiliki puteri. Bukan hanya cantik pada paras, ia juga cukup taat beragama. Tentu saja hal itu tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya. Ya, kedua pasangan itu memang sengaja mengenalkan agama sejak dini kepada anak-anaknya hingga Adifa pun terbiasa hidup di lingkungan religius.

"Dzikir paginya udah Ai?" Tanya Bunda seraya mengisi bekal putrinya. Ai adalah panggilan sayang untuk Adifa di rumah.

Adifa yang baru tiba dari kamar mengangguk. "Udah kok bun."

Setelah selesai, Adifa memasukkan bekalnya ke dalam tas. Ia pun menyalim tangan Bundanya yang sedang berada di dapur kemudian beralih menyalim tangan Ayahnya yang sedang duduk di meja makan.

"Ai pergi dulu ya yah. Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumussalam.."

Adifa melanjutkan langkahnya meninggalkan ruang makan namun baru saja beberapa langkah terdengar jeritan Bunda memanggilnya.

"Hati-hati Ai, bilangin sama abang jangan ngebut bawa motornya"
"Iya bun, iya..." Sahutnya seraya tetap berjalan menuju halaman luar. Tampak seorang pria tengah menunggunya dengan wajah kesalnya.

Raihan Hanafi memberikan helm kepada adiknya. Adifa mengambil helm itu dan memakainya sembari menunjukkan senyumnya hingga menampakkan gigi saingnya.

"Gak boleh cemberut bang! hidup itu harus banyak senyum, biar gak.."

"Udah cepat naik! berisik amat jadi adek!"

Baru saja Adifa ingin menasehati abangnya namun ternyata mood kakak laki-lakinya itu tampaknya sedang tak bagus hari ini. Mau tak mau ia harus diam dan menuruti permintaan saudaranya itu.

Sesampainya di depan gerbang Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Bandung, Adifa langsung turun dari motor dan berjalan memasuki halaman sekolah. Tiba-tiba saja seseorang merangkulnya dari belakang.

"Pagi Ai.."

Adifa yang sudah tahu siapa orang itu langsung menjauhkan tangan yang ada di pundaknya.

"Jaga jaraklah Fik, kita bukan muhrim!"
Fikar mendekatkan wajahnya pada Adifa. "Truss kapan maunya dihalalin?"

Deg!!!

Kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu sukses membuat jantung Adifa berdegup tak karuan. Tangannya mulai dingin bagaikan menggenggam es batu. Ia mengalihkan pandangannya dari wajah Fikar dan tetap melanjutkan langkahnya. Sebenarnya ia sendiri pun heran, orang yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat justru mulai menarik perhatiannya. Ini lebih dari perasaan pada seorang teman dekat. Ia membuang pikirannya itu jauh-jauh dan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas.

Setelah sampai di depan kelas, Adifa melangkahkan kakinya ke dalam dan segera duduk menuju kursinya. Jam masih menunjukkan pukul 06.40 WIB, masih ada sekitar 20 menit lagi untuk apel pagi. Tentu saja keadaan kelas masih sepi, kedua temannya pun belum terlihat. Kalau saja abangnya tidak ngebut, pasti ia akan sampai 10 menit lagi. Abangnya memang tak pernah mau menuruti permintaan adiknya. Huh!

Adifa menyandarkan kepalanya di atas meja. Kalau sudah sepi begini, ia sendiri pun tak tahu harus berbuat apa selain hanya bisa menunggu kedatangan teman-temannya.

Pikirannya kembali menerawang membayangkan kejadian yang baru saja terjadi di halaman sekolah tadi. Ia tahu jika Fikar hanya bercanda mengatakan itu padanya. Dan ini bukanlah pertama kalinya. Fikar sering mengusilinya bahkan menggodanya namun kenapa perasaan itu baru muncul sekarang?

Astaghfirullah...
Ucapnya lirih.

---------------

Bel masuk sudah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu, namun Adzin Mauza Al-Thaff tak kunjung memasuki kelas. Tentu saja hal ini membuat Fikar ketakutan. Bukan khawatir akan keberadaan temannya, namun tak lain karena ia takut dengan Pak Halbey. Ya, hari ini adalah ulangan Fisika dan dia sama sekali tidak menyukai pelajaran eksak. Sedangkan sahabat sekaligus yang menjadi teman sebangkunya sangat pandai kalau sudah berhadapan dengan deretan angka. Adzin juga terkenal pintar di sekolahnya. Bukan hanya pandai pelajaran umum, namun ia juga menguasai pelajaran agama bahkan sering menerapkannya. Ia selalu terlambat masuk kelas setelah istirahat karena terlebih dahulu melaksanakan shalat dhuha di Mushola sekolah.

"Assalamu'alaikum..."

Ucap seseorang sembari memasuki kelas XII MIA 1.

Fikar langsung menoleh seakan paham siapa yang datang menghampiri mejanya dan duduk di sampingnya.

"Alhamdulillah..."

Adzin melirik teman sebangkunya itu. "Tumben."

Fikar hanya tersenyum tak membalas perkataan dari temannya itu.

----------------------------------------

Alhamdulillah part pertama sudah diselesaikan😊

Syukron katsiron buat yang udah baca😊 maaf jika masih ada typo atau pun gaje ya akhy wa ukhty. Ana masih pemula, belum terlalu pandai merangkai kata..

Saran dan kritik sangat dibutuhkan😊😊😊

Cinta Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang