Tiga

2.1K 45 10
                                    

Matahari mulai menyingkir perlahan dari posisi awalnya menuju ke arah barat namun belum sepenuhnya menghilang. Sejuknya angin menerpa setiap pasang insan yang sedang bersantai di salah satu Rumah Makan yang berada di pinggir Danau. Pemandangan indah pepohonan yang masih terjaga di seberang Danau menambah kesejukan mata yang memandang.

Adifa memerhatikan setiap pasang insan yang sedang merajut kasih di tempat tersebut. Ada yang berpegangan tangan, merangkul bahkan ada yang tak segan-segan mencium pipi pasangannya di tempat seramai ini. Ini Rumah Makan, siapa saja bisa datang kesini tanpa adanya batasan selagi makanannya belum habis. Lantas, mengapa mereka tidak malu melakukan perbuatan itu semua? apakah semuanya sudah menikah? segala pemikiran itu bergelantung di kepalanya.

"Ini pesanannya Dek..."

Ucap seorang wanita paruh baya berkepala 4. Ia memberikan empat bungkus nasi goreng yang sudah dibungkus rapi di dalam sebuah plastik.

Lamunan Adifa buyar seketika.

"Ehh iya buk, ini uangnya.."
Adifa menyodorkan tiga lembar uang sepuluh ribu yang dikembalikan dengan uang dua ribu rupiah. Selain rasanya yang enak, harga makanan di tempat ini memang cukup terjangkau.

Adifa menuju motor yang berhenti tepat di depan Rumah Makan tersebut yang tak lain adalah motor abangnya. Namun ia heran karena pengemudinya tidak ada di dekat motor tersebut. Ia berdiri di pinggir jalan seraya memerhatikan ke kanan dan kiri mencari dimana keberadaan Raihan Hanafi.

Seseorang yang memakai baju koko berwarna putih dan memakai kopiah sedang berjalan membelakangi Adifa.
Bukannya itu bang rey? kenapa malah jalan ke arah sana?

"BANG REY...."
Teriak Adifa cukup keras hingga membuat sebagian orang melirik ke arahnya.

Adifa kesal. Berulang kali ia memanggil abangnya namun tak kunjung berhenti. Ia yakin bahwa ini hanyalah akal-akalan abangnya saja agar bisa menggoda dan mengusilinya. Adifa berjalan cepat ke arah orang yang masih melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun. Ketika jaraknya kian dekat, Adifa langsung membalikkan tubuhnya ke depan orang itu. Sayangnya itu bukanlah abangnya, orang itu malah menatapnya dengan tatapan tajam. Mematikan!

Adifa menundukkan pandangannya. "Maaf.."

Pria itu berdecak kesal.
"Anti kira maaf Anti bisa mengembalikan waktu Ana yang telah terbuang beberapa detik?"

Adifa sedikit sebal dengan ucapan orang itu. Ia menaikkan wajahnya hingga mata mereka saling bertatapan. "Ana kan sudah minta maaf, lagi pula Anta juga tidak akan rugi hanya karena beberapa detik yang telah terbuang karena Ana."

"Seberapa yakin-kah Anti?" Ia menaikkan nada suaranya. "Waktu tidak dapat dikembalikan! walaupun itu hanya satu detik!"

Pria itu berlalu meninggalkan Adifa yang masih berdiam diri disana. Adifa sangat kesal. Bisa-bisanya pria itu memarahinya hanya karena hal sepele. Lagi pula ia sudah minta maaf dengan sopan. Lantas hal apa yang membuatnya begitu jengkel kepada Adifa? marahnya seolah tanpa alasan yang jelas.

Adifa memperhatikan orang itu dari belakang, pria itu benar-benar mirip dengan abangnya. Dari jenis pakaian yang memakai baju koko berwarna putih hingga celana jeans berwarna hitam. Adifa lupa, Raihan Hanafi kan tidak memakai kopiah. Langkah pria itu berhenti tepat di depan sebuah Masjid yang tidak berada jauh dari posisi Adifa. Pria itu menolehkan pandangannya ke belakang hingga tatapannya kembali beradu dengan mata bulat Adifa. Adifa sempat memerhatikan wajah pria itu sebelum akhirnya orang itu memasuki Masjid. Ia tersadar, bukankah itu pria yang sama dengan pria yang kala itu pernah menegurnya di depan Mushola sekolah?

Cinta Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang