Prolog

83 6 9
                                    

"Hm? Hmmm ya... Mungkin ini bisa juga."

Setelah mengamati lebih detail, aku langsung mengambil daun bawang itu dan mulai memotongnya. Sebenarnya saat ini aku mulai kehabisan bahan makanan yang enak, hanya tersisa 3 butir telur dan rempah-rempah dengan bau menyengat. Mau bagaimana lagi, ternyata aku akan di sini sedikit lebih lama. Orang itu bahkan tidak memberiku uang lebih untuk hal diluar pekerjaan ini. Demi hal sekecil itu aku harus membuang banyak tenaga untuk mencari seorang gadis. Kuharap dia datang sendiri agar aku tidak perlu repot-repot.

Aku jadi teringat, orang-orang yang kemarin cukup tangguh, Apa mereka benar-benar orang dari dunia ini? Ahh... Aku ingin pulang sekarang.

Krett kreettt...

Suara dari pintu depan mulai tergeser perlahan. 5 orang mengenakan jubah langsung masuk membawa obor di genggamannya. Kelihatannya itu orang-orang yang kemarin mengejarku.

"Sial..!" aku mengernyitkan dahi begitu mereka mulai menelusuri setiap ruangan. Aku harus melakukan sesuatu sebelum mereka menemukan ruangan itu.

"Hey kalian! Masih belum menyerah ya? Bisa sampai di sini tanpa kuketahui, kalian patut dipuji."

"Tuan Moldeum, apa benar?" ujar salah satu dari orang berjubah itu.

"Jika iya kenapa?"

aku menatap mereka lekat-lekat. Segera kuambil posisi berlari untuk mengecoh mereka. Mereka langsung menoleh dan menodongkan pistol tanpa ragu. Tidak ada aba-aba, peluru yang ada di dalam pistol itu mendadak melesat secara bersamaan.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Aku segera menghindarinya dengan gesit tanpa terkena satu pun peluru, namun mereka terus menembakkannya tanpa henti. Sebenarnya ada berapa peluru di dalam sana?

Aku menoleh ke arah kompor yang masih menyala, telur yang ada di atas wajan itu ternyata sudah gosong. Aku menghela napas panjang sambil terus menghindar. Kulihat lagi orang-orang berjubah itu, sepertinya mereka hanya membawa pistol sebagai senjata. Aku langsung tersenyum dan mendekat ke arah kompor menyala tadi.

"Terimalah pujian dariku tuan-tuan berjubah panjang." aku menyingkirkan wajan dan meletakkan telapak tanganku di atas kompor hingga panasnya terasa membakar tanganku. Kemudian kuarahkan tanganku pada mereka.

"Feuer machen!"

Sekumpulan api yang membara keluar dari telapak tanganku, membakar setiap sudut rumah ini tanpa ampun hingga pandanganku terhalang oleh api besar yang sudah kubuat. Sepertinya aku sudah berlebihan.

"Wahh... gawat, gawat, gawat." aku menghentikan sihir apiku dan segera berlari menembusnya saat ada celah. Hawa keberadaan kelima orang tadi sudah tidak kurasakan, tampaknya mereka sudah pergi sebelum hangus terbakar seperti rumah ini.

Kayu yang digunakan sebagai atap kini mulai jatuh dan memercikan api kecil yang panas. Udara sekitar sudah tercampur dengan serpihan kayu sehingga mulai menyesakkan napas. Pandanganku yang sedari tadi terhalang oleh asap tebal mulai membuat mataku terasa perih. Jika ruang bawah tanah sampai terkena api ini bisa gawat.

Aku menyusuri ruangan dengan hati-hati. Beberapa kayu kecil menjatuhi lenganku meninggalkan luka ringan. Jalur menuju ruang bawah tanah pun akhirnya kutemukan. Aku langsung membukanya dan berlari masuk ke dalam.

"hah... hah... Bagus, masih sempat," ujarku dengan napas yang terengah-engah berkat asap tadi. Kututup pintu itu dan mulai merapalkan sebuah mantra.

"V-verhaten!" ujarku sedikit terbatah-batah. Tembok ruang bawah tanah pun berubah menjadi besi, ini bisa mencegah apinya masuk ke dalam. Pengucapanku tadi tidak lancar, kurasa setidaknya ini akan bertahan hingga apinya padam.

Aku langsung terduduk lemas dan bersandar di tembok. Udaranya memang pengap, tapi lebih baik dari pada di atas. Perlahan-lahan pandanganku semakin gelap, mataku pun tertutup dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

•••

Fokus, fokus, fokus, fokus...
Pikirannya kini berpusat pada kapak yang ada di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan bersiap menggenggam sebuah benda.

"Macht die Axt!"

Aura berwarna biru bening kini mengelilingi telapak tangan kanannya. Sesuatu mulai muncul samar-samar.

1 detik

2 detik

3 detik

Kini benda samar itu telah terlihat jelas menyisakan aura biru yang nyaris hilang. Benda itu adalah kapak yang sama seperti kapak di tangan kirinya.

"Lambat!" dia melempar kedua kapak itu dan mulai memfokuskan diri lagi membayangkan bentuk kapak secara detail.

"Macht die Axt!"

Hasilnya sama, dalam 3 detik kapak itu baru muncul di genggamannya. Dia menggerutu sambil menatap lekat-lekat kapak itu.

"Lagi! Harus lebih cepat dari ini!"

Dia mulai memejamkan mata. Memikirkan kapak, kapak, kapak dan kapak yang sama lagi.

"Macht die A-" mantranya terputus setelah mendengar panggilan yang tidak jauh dari posisinya saat ini. Panggilan itu berasal dari ibunya.

"Vany! Kemari ada sesuatu untukmu," ujar ibunya dari dalam rumah.

Elvany menghembuskan napas panjang dan kembali menatap kapak-kapak tadi.

"hahh... Baiklah mungkin nanti. Verschwunden!" kapak yang dia buat langsung menghilang disertai aura biru samar-samar yang mengelilingi kapak itu. Dia langsung masuk ke dalam rumah menjawab panggilan ibunya.

"Ada apa?" Ujarnya datang mendekati ibunya di dapur.

"Ini ada surat dari Avalor Academy," ibunya menyerahkan surat itu dengan senyum yang sangat lebar. Elvany begitu semangat ketika mendengar kata 'Avalor Academy', dia langsung mengambil surat itu dan membacanya.

"I-ibu aku diterima! Aku diterima!" Elvany melompat kegirangan dengan heboh.

"Ibu sudah bilang kan? Anak ibu ini hebat, jadi sudah pasti diterima di Avalor Academy."

"yah kan itu belum pasti kalau aku belum dapat surat ini hehe... Tapi..."
Elvany mengamati surat itu lagi. Pandangannya terus melihat ke sebuah paragraf.

Di sana tertulis bahwa keberhasilannya ini sebagian besar karena bantuan dari dalam. Seharusnya dia tidak diterima di sana. Kepala sekolah terlihat sudah memutuskannya saat ujian praktik berlangsung. Sepertinya seorang guru sudah merubah pikirannya.

•••

Ugh.. Sedikit nyeri...
Apa yang baru terjadi?
Bau habis terbakar,
Ah benar...  Rumah ini habis kubakar.
Sepertinya ada yang memanggilku?

Kubuka mataku perlahan, samar-samar kulihat dua orang sudah berada di hadapanku. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Saat pandanganku semakin jelas, ada wajah yang tidak asing.

Gadis berambut panjang berwarna coklat yang sangat cantik. Wajahnya yang bersinar menandakan dia bukan orang biasa.

Dia terlihat tidak asing.
Ini seperti...
Ah bingo! Beruntungnya aku.
Terima kasih atas bencanamu tuan berjubah panjang.

Elvany the HerstellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang