Sudan

138 1 0
                                    

Bandung, 23 Juli 2013.

Pagi itu mentari bersinar cerah. Panasnya menyepuh genting-genting kusam rumah-rumah sederhana yang berderet rapi. Menyingkap perlahan kabut yang menggelayut menutupi bukit-bukit kecil yang mengelilingi desa. Di bawahnya sawah yang baru ditanami padi nampak segar dan menambah suasana asri.

Desa Parahiyangan yang terletak di daerah Bandung Selatan itu tengah memulai aktivitasnya. 3 anak laki-laki berseragam merah putih nampak bercengkrama sambil berjalan beiringan menuju sekolah. Di sudut jalan seorang pemuda nampak asik memandikan motor honda beatnya sambil sesekali menyapa orang yang berlalu lalang.

Diantara deretan rumah itu, ada sebuah rumah yang nampak dirimbuni orang-orang. Rumah itu adalah rumah Pakde Paijo, penjual bubur ayam terlezat di desa itu. Dan Hampir setiap pagi warga desa yang tidak sempat membuat sarapan membeli bubur Pakde. Bahkan pelanggannya juga datang dari desa sebrang. Tepat disebelah rumah Pakde Paijo, rumah yang agak besar namun sederhana berdiri. Di dalamnya sang penghuni juga telah larut dengan aktivitas paginya.

"Mah, pah. Dinda udah mutusin. Insya Allah Dinda mau lanjut kuliah di Sudan." Ucap anak gadis bungsu penghuni rumah itu tiba-tiba. Sukses membuat kehidupan di meja makan mereka hening sesaat.

Di hadapannya Papah dan Mamah nampak bertatapan bingung. Sedangkan Rian yang duduk disebelahnya nampak terpause dengan posisi sesendok nasi goreng menggantung di depan mulutnya-yang siap melahap-konyol. Untung kesadaran Rian segera kembali saat Papah berkomentar.

"Sudan?" Papah mengangkat alisnya sebelah.

"Yap. Dinda tahu kalian pasti kaget. Tapi, insyaallah Dinda udah memikirkannya baik-baik dan istikharah." Dinda menatap Papah, menyengir semanis mungkin.

Gadis berjibab bergo pink itu memang sudah menduga reaksi keluarganya. Tapi, apa daya hanya pagi itu ia punya waktu untuk mengutarakan niatnya melanjutkan studi di negara yang banyak mendapat stereotip buruk itu. Pagi hari memang waktu dimana anggota keluarga terbiasa berkumpul, waktu sarapan. Sedangkan malam tadi ia baru benar-benar yakin tentang keputusannnya itu, setelah istikharah panjang tentunya. Maka ia tidak bisa menunda-nunda lagi untuk mengutarakan keputusannya itu. Apapun respon dari keluarganya, Dinda sudah menyiapkan hati dan alasan-alasannya. Namun, demi melihat papah yang nampak berpikir itu, dadanya mulai berdegup menebak apa yang akan dikatakan papah selanjutnya.

"Sudan itu dimana, Din?" Suara papah kemudian. Bertanya amat polos. Dan sukses membuat Dinda hampir menjengkang dari kursinya-gemas. Duh, kirain si papah tahu.

Rian langsung tergelak disampingnya. Keras sekali. " Hahaha. Itu lho pah. Negara orang negro kayak Zimbabwe."

"Zimbabwe?" Sahut mamah dan papah bersamaan.

Dinda melotot kemudian mendelik Rian yang tengah tergopoh-gopoh mengambil air minum karena tawanya yang amat tidak sopan itu berhasil membuatnya tersedak. Rasain.

"Ehem. Lagian kesambet apa sih kamu, ndut? Sampai mau lanjut studi ke sana segala." Oceh Rian setelah berhasil membersihkan kerongkongannya. Dengan santai lelaki tampan dengan rambut panjang tidak terawat itu menyendok nasi gorengnya lagi.

"Sok tahu banget sih, si aa mah!" Dinda mendengus sebal. Pertama karena kakak laki-laki semata wayangnya itu sok tahu tentang Sudan. Kedua, karena Rian sering memanggilnya endut dan meledeknya. "Sudan itu beda sama Zimbabwe tahu."

Rian mencibir seraya mengedikan bahunya tidak peduli dan langsung berteriak saat mendapat cubitan maut dari adiknya.

"Sudah-sudah." Mamah langsung menengahi, sebelum drama rutin Tom and Jerry kakak beradik itu dimulai lagi.

SENANDUNG DUA NILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang