Mata Dinda masih terpekur menikmati pemandangan di bawahnya. Seakan heran dan tidak percaya ditengah bangunan Bandara yang terdiri dari tiga lantai itu ada ruang yang dibiarkan kosong. Membentuk seperti sebuah ceruk besar yang diintinya diletakkan sebuah air mancur yang menjulang tinggi dari lantai satu sampai lantai tempatnya berdiri, lengkap dengan pot-pot segienam berisi bunga berwarna-warni dan dedaunan yang mengelilinginya. Indah sekali, membuat sejuk mata yang melihatnya.
Dari balik pagar pembatas lantai ketiga itu, matanya bebas bergerilya. Menyisir semua hal yang dikagumi di tempat yang baru pertama kali dipijaknya itu. Terkagum seraya memejar tasbih.
Atap yang unik berbentuk lempengan-lempengan segitiga yang berlapis dan berongga nampak kokoh menaungin semua ruangan. Jalanan ubin yang mengkilat diterpa cahaya, berdecit saat beradu dengan roda koper yang dideret wajah-wajah asing bermuka khas arab. Suara-suara cengkrama yang bernada cepat, tinggi dan asing. Wanita-wanita berniqab yang berlalu lalang dengan anggun. Eskalator dan tangga-tangga besar yang membelalai di setiap lantai.
Belum lagi bau harum yang khas makanan timur tengah yang mencuat dari kafe-kafe yang hanya bertransaksi dengan uang Riyal menambah asing suasana.
Ah, gadis itu akhirnya sepenuhnya sadar sekarang ia tidak lagi berada di negeri asalnya, Indonesia. Semua pemandangannya sangat berbeda. Ya gadis itu sekarang tengah berada di Bandara Internasional Riyadh, King Khalid. Menghabisnya 6 jam waktu transitnya sebelum berangkat lagi menuju Khartoum.
Semua panorama dan fasilitas yang dirasakannya memang membuat jam-jam transit tak terlalu terasa. Banyak hal menarik yang memalingkan mata.
Ah, lalu bagaimana dengan dunia ini?
Tetiba benaknya mulai bertafakkur. Bukannya sejatinya dunia ini pun tempat transit. Apakah segala keindahan dan fasilitas menyilaukan mata yang Allah sediakan di dunia inilah yang membuat kehidupan dunia ini bergulir tak terasa. Sayangnya lebih banyak yang lalai karena buaian dunia dibanding memperkarya diri dengan amal dan ibadahnya. Dinda menanyakan dirinya was-was. Masuk golongan itukah dia. Bukankah waktu transit itu hanya sementara. Dan semua penduduk dunia ini akan segera berangkat ke perhentian terakhir bernama akhirat.
Dinda menejamkan matanya meresapi apa yang dikatakan benaknya. Ya, seharusnya banyak yang dia ambil dari tempat trasit ini dari sekedar cuci mata. Ia harus mengambil segala hikmah yang menyegarkan iman.
"Sudan itu negeri tarbiyyah, Sholihah. Setiap sudutnya selalu mengajarkan hikmag kehidupan. Dinda harus terus mencari dan menemukannya." Seketika Nasihat Ummi Hana saat berpamitan itu terngiang di ingatannya.
Bahkan sebelum kaki ini ini menjejak, aku telah mendapatkannya, ummi.
Gadis itu menengok kedua kawan barunya. Masih asik mengambil foto dengan background air mancur yang menakjubkan itu. Ia tersenyum. Nampaknya dua gadis yang duduk satu kursi dengannya dipesawat itu memang tak mengenal lelah. Padahal mereka telah mengelilingi toko-toko yang ada disudut-sudut bandara itu selama satu jam. Dan mereka belum beristirahat sama sekali setelah landing dari pesawat setelah 9 jam perjalanan.
"Kalian nggak cape? Balik yuk!" Kali ini nampaknya Dinda harus mengambil inisiatif.
"Eh, bentar kak! sekali lagi" Kayyisa memohon seraya bergaya dihadapan Khansa yang menjadi fotografernya.
Dinda mengangguk, bersedia menunggu.
"Yuk balik!" Akhirnya Khansa mengembalikan handphone pada Kayyisa, lalu menoleh pada Dinda. "Kakak, nggak foto lagi?"
"Udah puas tadi" Dinda nyengir
"Oh.. oke. Kalau gitu ayo balik! Nanti dicariin Ustadz Utsman"
"Sip.."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDUNG DUA NIL
SpiritualYa, katakan saja cinta itu tak bisa memilih. Tapi bukankah kita punya iman yang akan menjadi hakimnya. Memilihkan apakah cinta itu baik atau tidak. Maka jika cinta tak bisa memilih, biarkan iman menempati tugasnya untuk memilih. Karena dengan iman s...