ALASAN, PERPISAHAN DAN PERTEMUAN

78 0 0
                                    

Tidak ada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa memiliki alasan. Langit, bumi, manusia dan seluruh alam semesta tak luput diciptakan karena sebab dan alasan. Begitu pun setiap kejadian yang hadir dalam kehidupan kita, baik yang telah berlalu atau yang akan datang, semua terjadi karena atau untuk sebuah alasan. Apalagi untuk sebuah pilihan, selalu ada sebab dan alasan kenapa kita harus menentukan sebuah pilihan.

Tentang alasan, bagi Dinda tidak ada yang lebih baik dijadikan sebagai sebuah alasan kecuali hijrah karena Allah. Dinda teringat perkataan Ibnu Qayyim di pembukaan buku Raudhatul Muhibbin yang ia beli di Braga Books Fair bulan lalu, "Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan beri pengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia ditinggalkan itu, dan Dia juga akan mengangkat orang itu pada ketinggian derajat para raja. Dan jika sang raja telah berhasil menakhlukan hawa nafsu dan menjadikannya sebagai sahayanya, maka daripadanya akan tumbuh pohon yang maknannya adalah kesadaran akan ganjaran, dahannya adalah kesabaran, ranting-rantingnya adalah ilmu pengetahuan, dedaunannya adalah akhlak yang mulia, buahnya adalah kebijaksanaan, pngkal batangnya adalah taufiq yang akan membuat segala kebaikan datang padanya dan menjadi ujung pangkal segala tindakkannya."

Ya, semoga keputusannya untuk pergi ke Negeri Dua Nil itu dapat menguatkan hijrahnya karena Allah. Menghapus luka dan kehidupan masalalunya yang kelam dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.

Dinda menekuri tiket ditangannya. Tertulis disana penerbangan Jakarta-Riyadh pukul 02.00 WIB. Itu berarti kurang lebih 2 jam lagi ia akan terbang meninggalkan negeri pertiwi ini, menyebrang benua menuju negeri perantauan. Berbagai pikiran kemudian menyergapnya. Matanya lelah karena kurang tidur. Semalaman gadis itu harus berdamai dengan kenangan-kenangan pahitnya.

Gadis itu menatap langit-langit sambil menghela nafasnya berat. Ia rogoh hapenya dari saku jaketnya. Memencet beberapa tombol. Kotak pesan pun terbuka. Pesan singkat Rio masih ada disana. Tentu dia tidak berpikir untuk membalasnya. Sambil menelan ludah ia ketuk lama pesan itu lalu segera menekan gambar tong sampah. Selamat tinggal kenangan, dan selamat datang kehidupan baru. Bismillah.

Sebuah tangan menyentuh lembut pundaknya. "Diin.."

"Ah, iya?" Dinda sempat terkesiap sebelum menyadari benar siapa yang memanggilnya.

Perempuan paruh baya dihadapannya tersenyum " Sudah waktunya kamu check in, sayang."

"Oh iya, mah?"

"Tuh.. udah ditunggu yang lain" Mamah menolehkan wajahnya.

Dinda melihat dari kejauhan Ummi Hana melambaikan-lambaikan tangannya. Dibelakangnya Nampak gerombolan muda-mudi yang memakai jaket sama persis dengannya. Mereka adalah kawan-kawan rombongan yang akan berangkat bersamanya menuju Sudan hari ini. Dinda pun tersenyum. Bergegas ia hampiri mereka.

" Sudah lengkap semua, ya?" Tanya Ustadz Utsman melihat sekelilingnya, mengecek satu-satu anak-anak rombongan yang akan ditemaninya ke Sudan.

"Sepertinya sudah, bi" Sahut Ummi Hana yang melihat kehadiran Dinda.

"Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan check in, ya. Silahkan kalian berpamitan dulu pada keluarga masing-masing. Mohon doa yang terbaik pada mereka."

Dinda merasakan suasana pun berubah menjadi haru. Beberapa anak langsung pergi dan memeluk keluarga mereka. Bahkan ada yang sampai berderai air mata. Sedangkan ia sendiri sama saja. Air matanya tiba-tiba sudah berat menggantung di ujung kelopak matanya. Ia tahan-tahan meski hidung dan pipinya memerah. Dilihatnya Mamah yang tidak lebih tegar darinya, air matanya tumpah ruah entah sejak kapan. Ia menghambur memeluk wanita tersayangnya itu. Rontok juga akhirnya pertahanannya. Disampingnya tak kalah haru Papa membelai kepalanya sayang. Ini memang sangat berat, karena Dinda anak bungsu mereka yang manja itu untuk pertama kalinya akan pergi jauh melintas benua.

Selesai berpeluk haru dan mendapat wejangan dan doa dari mamah dan papah, Dinda lalu memeluk Teh Raisa dan mencium Rendra yang ada di gendongannya. Ah, Dinda pasti akan rindu sekali dengan keponakannya itu.

" Nggak usah nangis, ndut. Jadi tambah jelek tahu." Suara menyebalkan itu sukses mengganggu suasana harunya dengan teh Raisa. Siapa lagi kalau bukan Aanya yang paling nyebelin di dunia.

Dinda menoleh garang hampir menyebrot kakak laki-lakinya itu, kalaulah tidak demi melihat mata a Rian yang memerah meski muka menyebalkannya itu dipaksa sok tegar. Antara kasihan dan lucu. Dinda tak kuasa untuk tidak tertawa.

" Gengsi banget sih kamu, a" Ledek Dinda.

" Apanya?" Rian pura-pura bodoh.

Dinda merubah raut mukanya serius lalu meraih tangan A Rian dan menciumnya " Maafin Dinda ya suka nyusahin A Rian"

Rian menyentuh kepala Dinda haru. Sebenarnya airmatanya sempat mengalir namun cepat-cepat ia hapus agar Dinda tak tahu-gengsi. "Kamu juga jaga diri baik-baik disana, ya. Belajar yang baik jangan malah nyari suami orang Zimbabwe."

Ish.. memang kakaknya itu tidak pernah bisa serius. Bahkan Mamah, papah dan Kak Raisa yang awalnya sudah terenyuh dengan adegan yang amat jarang itu langsung terpingkal karena ucapan Rian.

"Iya..iya..Aa juga lho jangan nyusahin mamah dan papah lagi. Cepat kelarin kuliahnya, udah 7 tahun masa nggak lulus-lulus. Jadi, Aa yang sholih ya. Jangan ngerokok dan naik gunung terus. Aku juga kan udah pingin punya teteh ipar."

Rian terkekeh dan mengacak kepala adiknya.

"Ayo anak-anak waktunya sudah selesai. Saatnya kita Check in" Seru Ustadz Utsman.

Dinda dan anak-anak lain berpamitan untuk terakhir kali kemudian langsung mengikuti langkah Ustadz Utsman menuju ruang check in.

***

" Afwan, anti duduk disini?" Suara berat itu memecah lamunan Dinda yang sedang menekuri pemandangan di balik kaca pesawat.

"Eh? Iya" Sahut Dinda bingung melihat sosok berkemeja biru dengan ransel dan jaket yang di sapirkan dilengannya, tengah mematung dihadapannya. Nampaknya lelaki itu pun bingung. Dinda memeriksa tiketnya sekali lagi. Benar kok Seat 102 F.

"Ana 103 F." Suara berat itu menyahut lagi seolah bisa menebak yang Dinda pikirkan.

" Kenapa sih, bro?" Entah dariman tiba-tiba seorang pria lain dengan earphone dilehernya menyembul dan melongok dari balik pria itu. " Oalah..ciee.." pria itu langsung terkekeh iseng saat melihat Dinda.

" Astaghfirullah, apa sih ente ini? Mending kita cari ustadz Utsman."

Ternyata sebelum sempat pria itu menarik temannya pergi, Ustadz Utsman yang sempat melihat mereka dari kejauhan menghampiri. " Ada apa, Irham?"

"Alhamdulillah, ustadz disini. Ini ustadz sepertinya ana harus tukar tempat duduk"

Ustadz melongok tempat duduk yang ditunjuk Irham. "Oh, ada Dinda disini"

Dinda hanya menyengir garing.

" Ente juga duduk disini juga, Dho? "

" Nggak, tadz. Ane duduk sama Fahri"

" Khair, Irham ente ikut ane untuk tukar tempat duduk. Ridho kembali ke tempat duduk."

" Iya, tadz" Jawab keduanya serempak.

Mereka pun beranjak meninggalkan Dinda yang bernafas lega. Tentu saja siapa juga yang ingin duduk di samping pria yang bukan mahram menghabiskan berjam-berjam perjalanan. Pasti tidak nyaman sekali. Untung pria bermana Irham itu sepemikiran dengannya. Beberapa menit kemudian seorang gadis dengan senyuman yang manis diantar Ustadz Utsman menghampirinya. Dialah gadis yang bertukar duduk dengan Irham, namanya Kayyisa.

***

SENANDUNG DUA NILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang