03. Dessert (Part 1)

139 13 8
                                    

"Soalnya..."

Aku memukul bahu kurus Gava. "Soalnya kenapa? Daritadi soalnya soalnya soalnya mulu."

Gava tertawa lagi. Sepertinya aku salah mengiranya. Kupikir dia cupu, cool, sombong, eh ternyata tukang usil.

"Soalnya aku amat membenci teori evolusi Darwin. Kuharap aku hidup bersamaan dengan masa hidupnya supaya aku bisa bertemu dengannya dan menyuruhnya berhenti mengatakan manusia berasal dari kera."

Dang ding deng. Otakku kemana, ya? Kenapa aku baru ingat orang yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera itu adalah si Darwin yang ini. That Darwin. Apa jangan-jangan otak kera justru lebih pintar dari otak lemotku ini?

"Kenapa kamu nggak setuju? Kamu nggak suka makhluk cantik seperti kita ternyata berasal dari binatang yang hobinya nyari kutu temannya itu?"

Gava lagi-lagi menatapku malas. Mungkin dia sebenarnya dulu susah kuajak berteman karena tahu aku akan menghabiskan tenaganya untuk hal sepele.

"Memang kamu setuju?" tanya Gava sambil membuka halaman selanjutnya yang bergambar evolusi kera menjadi manusia berbadan tegap dan normal seperti kita. Tahu kan yang mana? Yang kayak tangga itu, lho!

Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu, ya. Yang jelas aku bersyukur dilahirkan jadi manusia bukannya kera. Kera nggak bisa main game."

"Eh, belum tentu. Kamu nggak tahu kalau otak hewan primata itu cerdas? Misal kamu dilahirkan jadi kera terus dipelihara sama gamer ya jadi gamer juga."

Ini teori yang bagus.

"Gav, mau sampai kapan kita ngomongin kera? Sebentar lagi masukan ayo kita balik," ajakku. Aku tak tahan lagi berbicara tentang kera. Hatiku sakit membayangkan ada seekor gamer kera yang saking cerdasanya mampu mengalahkan manusia.

"Tunggu," Gava menahan lenganku,"kamu tahu apalagi yang aneh dari ini semua?"

Aku diam saja. Aku mau menjawab "Kamu" tapi tidak jadi karena Gava lanjut berbicara lagi.

"Kalau misalnya kita bisa berevolusi, manusia modern seperti kita apa akan berubah juga?"

"Berubah jadi apa?"

"Jadi alien kayak kamu kali yang kecanduan komputer."

Kutipuk kepala Gava dengan buku tipis yang ada di depanku. Gava tertawa riang.

"Makanya kalau diajak ngomong serius dikit, kek. Hahaha..."

Aku mendengus sebal. Berteman dengannya lama-lama membuatku kayak banteng yang mendengus emosi terus. "Masih mending aku suka main komputer daripada jadi hater."

Gava menjulurkan lidah kekanakan. "Masih mending jadi hater Darwin daripada berotak lemot. Weeek."

Sumpah, ya, ini anak mulutnya perlu penyaring. "Sesama murid bernilai rendah diam aja," ujarku. Apa gunanya suka baca kalau pas ditanya nggak bisa jawab? Ya, nggak?

"Motivasi kita beda, Zazin. Aku nilainya rendah karena memang kusengaja. Kalau kamu karena faktor malas." Gava beranjak menuju pintu.

"Kalau motivasimu apa? Susah banget kasih tahu. Kayak rahasia negara aja."

"Biarin. Anggap aja kamu sedang menanti makanan pencuci mulut yang bikin kamu penasaran."

***

Aku diam-diam mengunyah permen karet rasa anggur sambil menghadap papan tulis. Gara-gara Gava aku jadi ingin makanan manis. Tapi karena bel sudah berbunyi dan kami harus berlarian turun dari perpustakaan aku jadi tidak sempat mampir ke kantin untuk beli puding cokelat.

FlashdiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang