05. Cari Mati

75 8 4
                                    




Ini sungguh pencuci mulut yang tidak kuharapkan akan kunikmati usai menyantap beef burger lezat. Aku senang Gava mau menceritakan rahasianya padaku. Tapi aku tak menyangka kalau ada hal seperti itu terjadi di sekolah yang setiap hari kudatangi. Membuat perasaanku menjadi tidak enak.

"Pak Rifat menyimpan rahasia gelap dan berhubungan dengan para murid pintar di sekolah kita, Zin."

Ugh, kata-kata Gava terus membayangiku. Di dalam kepalaku aku bisa membayangkan cerita Gava bahwa Pak Rifat selalu mencoba mendekati murid-murid pintar dan berprestasi kemudian para murid itu akan hilang tanpa jejak. Siapa coba yang akan curiga bila diajak berbicara oleh beliau? Selain ramah, Pak Rifat juga gaul dan mengerti bahasa anak muda. Aku saja sempat merasa kagum dengannya meski beliau guru pertama yang kukagumi.

Aku tahu sekolahku memiliki agenda pertukaran pelajar ke luar negeri. Aku juga tahu kalau para murid yang pergi itu adalah murid yang terkenal karena kecerdasannya dan sering menjuarai lomba-lomba yang membawa nama sekolah. Tak mengherankan karena mana mungkin sekolah mengirimkan muridnya ke luar negeri kalau cuma bisa plonga-plongo sepertiku? Baiklah ini bukan waktunya untuk merasa rendah diri.

Meski cerita Gava masih memiliki banyak kekurangan bukti yang menguatkan kalau Pak Rifat adalah orang jahat, perasaanku mengatakan Gava tidak mungkin mengada-ada. Kesaksian Gava melihat sahabatnya yang dijanjikan akan pergi ke Jepang hari itu tapi malah tertangkap mata sedang dibawa masuk ke dalam pintu besi di taman belakang sekolah oleh Pak Rifat petang itu sudah cukup mengerikan untukku. Anak itu tidak pernah terlihat lagi sampai sekarang. Entah apa yang orang tuanya pikir mengapa anaknya tidak kunjung pulang ke rumah. Mungkin saja mereka kira anaknya betah tinggal di negeri orang.

"Aku tak bisa lihat raut wajahnya, Zin. Aku tidak bisa melihat wajah sahabatku untuk terakhir kalinya. Aku menyesal kenapa saat itu aku tidak merasa curiga dan malah pulang ke rumah."

Gava tidak salah. Gava hanya tidak tahu. Aku pun bila berada di posisinya juga tidak merasa heran melihat murid berbicara dengan guru. Yang aneh adalah waktu dan lokasi yang tidak wajar untuk membicarakan urusan tertentu dengan seorang murid wanita. Mengapa pula anak itu diajak masuk ke tempat rahasia yang belum pernah diketahui orang lain selain Pak Rifat? Aku jadi penasaran apakah guru-guru yang lain menyadari keanehan taman belakang sekolah.

***

"Siapa kamu bilang tadi?" Aku mengorek kedua lubang telinga bergantian.

"Kle," jawab Gava seraya matanya sibuk mencari sosok Kle ini.

Aku hendak menyeretnya pergi menyingkir dari lapangan yang sudah mulai diterangi sinar matahari pagi seusai upacara bendera ketika Gava menahanku berdiri di tempat. Katanya ada seseorang yang ia cari di antara kerumunan siswa.

"Cle? Cleopatra?" tanyaku iseng.

"Kle-men-to. Klemento." Gava mengeja nama si Klemento ini dengan penuh semangat. Mengingatkanku dengan pelajaran membaca saat SD dulu. "B-U-D-I. Bu-di. Ini Budi." Lalu setelah mengenal Budi maka pelajaran akan berlanjut menjadi "Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi." Dan Budi-Budi lainnya.

"Siapa dia?"

"Teman waktu kecil dulu."

"Memang kamu dulu punya teman?"

Gava tak bergeming. Padahal aku sudah bersiap menahan tangannya kalau ia hendak memukulku.

Gava kemudian menarik tanganku, menyusuri gerombolan siswa yang ingin kembali ke kelas masing-masing. Aku nurut saja karena penasaran dengan Kle, teman masa kecil Gava.

"Kle!" Gava melambaikan tangan dengan girang. Aku jadi tak yakin cewek yang sudah akrab denganku beberapa minggu ini bisa bertingkah seperti ini. Di depan cowok pula! Kemanakah Gava yang cuek dan terkesan galak itu?

"Hei!" Cowok yang disapa Kle ini balas melambai dan tersenyum dengan senyuman termanis yang pernah kulihat. Eh, apa kataku barusan? Senyumnya manis?


Chapter 5 belum kelar yaaa ditunggu lanjutannya jangan lupa voment dan krisan yaah thank youuu

FlashdiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang