04. Dessert (Part 2)

118 16 12
                                    


Kunikmati segelas coffee latte dingin di salah satu kafe dekat pantai Kumala. Aku sangat suka kopi manis yang menyegarkan tenggorokan dan membuat rasa kantukku hilang di siang bolong. Semalam aku sibuk berbalas pesan dengan Lucio sampai akhirnya aku ketiduran saat lewat tengah malam. Ternyata Lucio orang yang menyenangkan. Aku tidak bosan bercerita dengaannya dan dia selalu memberi respon yang positif. Dia bahkan mengirimkan meme lucu yang membuat perutku sakit karena terlalu banyak tertawa.

Tapi sebelum aku pergi ke kafe ini, perasaanku menjadi sedikit aneh. Seakan ada hal atau kabar buruk yang akan kuketahui. Entah karena gaya bahasa Gava yang ia pakai saat mengajakku bertemu atau hanya hatiku saja yang terlalu baper. Eaaaaaaak. Kutepuk pipi tembemku berulang kali, bermaksud menghilangkan sisa kantuk yang bandel tidak mau pergi.

"Mau pesan makan apa, Mbak?" tanya pelayan wanita yang memamerkan senyum seratus wattnya sejak aku sampai di ambang pintu tadi. Apa ia tidak capek tersenyum terus? Kalau aku pasti akan merasakan otot-otot wajahku kelelahan dan berjanji tak akan senyum lagi sampai seminggu lamanya.

Aku sengaja tidak memesan makanan tadi. Maksudku aku bisa pesan nanti sekalian sama Gava pas dia datang. Tapi kok Gava belum datang juga, ya? Perut, mulut, dan mataku tergoda dengan gambar beef burger dua tingkat dengan lelehan keju di tengahnya dan perpaduan acar asam yang lezat dan... ah, sudah, sudah! Kasihan mbaknya menungguku yang tak kunjung memesan.

"Beef burger satu mbak. Hehehe." Aku nyengir. Aku kalah sama godaan si burger seksi yang gambarnya terpampang paling besar di daftar menu. Dengan lima bintang di atasnya, menandakan menu satu ini paling direkomendasikan karena sangat enak. Mulutku berliur.

Kucoba bersabar menunggu Gava dan burger seksiku datang. HP di tangan menjadi teman terbaikku yang kelihatan seperti orang kesepian tanpa kerjaan. Mau lirik-lirik pengunjung yang lain tidak enak. Nanti dikira aku orang aneh yang nyasar di kafe elit lagi.

"Kenapa milih tempat ini sih, Zin? Kayak anak orang kaya aja." Gava menggerutu dan menarik kursi kayu di hadapanku. Aku terkejut karena tiba-tiba ada orang datang ke mejaku.

"Nih, bocah. Aku sengaja milih tempat ini biar rahasia yang mau kamu ungkap terjaga. Kamu juga yang nyuruh aku menentukan tempatnya," balasku sambil monyong-monyong tak mau kalah. Bahaya kalau Gava yang menentukan tempat. Aku bisa dibawanya ke perpustakaan kota di hari Minggu yang mendung ini. Aku tak mau menghabiskan waktu liburku di hadapan buku-buku.

Gava fokus melihat-lihat daftar menu. Kurasa ia tak seharusnya lama berpikir. Pilih saja burger menggoda itu. Seperti aku.

Ia meletakkan daftar menu itu di atas meja dan menatapku. Sepertinya ia mau memulai ceritanya.

"Kamu nggak jadi pesan? Makan atau minum gitu?"

Gava menggeleng. "Mahal, Zin. Eh, sorry tadi lama. Angkotnya ngantri isi bensin dulu."

Duh, Zazin bodohnya kamu! Kenapa pula aku ajak Gava ke sini? Di sini semua makanan harganya di atas tiga puluh ribu. Air mineral ukuran sedang saja bisa dua kali lipat lebih mahal dari warung pinggir jalan. Astaga, aku menyesal. Padahal aku sudah tahu kalau Gava bukan berasal dari keluarga berada.

"Aku traktir, deh," tawarku. Kasihan Gava kalau ia tidak makan atau minum apapun. "Kamu belum makan siang kan?"

"Sudah, kok. Nggak usah repot-repot," ujarnya.

Aku tahu Gava merasa tidak enak karena mau aku traktir. Ia memang cenderung menolak bantuan orang lain.

"Mbak, pesan beef burger yang biasa dan jus mangga." Kuingat Gava pernah bercerita ia amat senang kalau pohon mangga tetangga sebelah rumahnya sedang musim buah. Tetangganya akan memberi Gava sekeluarga seplastik mangga manalagi yang manisnya bikin Gava ngiler hanya dengan melihatnya saja.

FlashdiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang