Hukuman Untuk Murid Tak Bersalah

1K 124 3
                                    

Hukuman Untuk Murid Tak Bersalah

.

       Bekerja sebagai satpam di sebuah sekolah SD membuatku sedikit lebih banyak memperhatikan anak-anak. Tingkah mereka, kenakalan mereka, juga cara mereka diperlakukan oleh orangtua.

Sudah puluhan tahun aku bekerja, banyak perubahan drastis yang mulai terjadi akhir-akhir ini. Sikap anak kepada orangtua, sikap anak kepada guru, dan sikap orangtua kepada wali kelas anaknya.

Semua terjadi seiring perkembangan zaman. Mungkin tekhnologi juga salah satu pengaruh kuat yang merubah mereka.

Seorang anak bertubuh kurus berdiri di dekat pintu gerbang sekolah. Menyandarkan tubuh dengan wajah tanpa ekspresi. Sementara tangannya memainkan ujung dasi yang tergantung di leher.

Aku lumayan kenal dengan anak ini. Namanya Dani, kelas 2 SD. Sebenarnya dia mempunyai ciri fisik lebih dibanding anak lain. Walaupun badannya kurus, tapi ia lebih tinggi dibanding kawan-kawan sekelasnya. Sering kudengar dia dipanggil 'Bule' karena raut wajahnya yang terbilang tampan.

Hanya saja, dia mempunyai banyak catatan keburukan dibanding siswa lain.

Sering kulihat dia berdiri di luar kelas. Sebagai hukuman karena tidak mengerjakan PR, rambut panjang, atau kuku yang belum dipotong.

Tiap kali dia ditanya kenapa tidak mengerjakan PR, dia hanya diam. Tiap kali ditanya kenapa tidak menyampul buku, tidak mengerjakan keterampilan, tidak membawa alat-alat sekolah seperti yang guru minta, tidak memfoto kopi soal-soal yang dibagikan guru, dia hanya diam. Tidak memberi jawaban, juga tidak menangis saat lengannya dipukul penggaris pelan sebagai hukuman.

Hampir tiap hari berdiri di depan kelas, dihukum, sampai guru-guru lain pun mulai hafal. Termasuk aku. Karena kelasnya paling dekat dengan pintu gerbang, jadi tanpa sengaja aku mengamatinya.

Pakaiannya kusut, sering tidak memakai ikat pinggang. Tasnya yang dekil seringkali terbuka karena resleting jebol. Bagian sepatu yang seharusnya berwarna putih, menjadi coklat kehitaman dengan tali yang sering terburai. Tiap kali harus mencopot sepatu, terlihat kaus kaki dengan warna dan bau seperti tidak pernah dicuci.

Mereka memanggilnya 'Bule', dengan tambahan kata 'gembel' di belakangnya.

"Belum dijemput kamu?" Aku mendekati anak itu.

Sekolah mulai terlihat sepi. Anak-anak yang dijemput atau menyeberang jalan sendiri sudah tak terlihat lagi. Tinggal beberapa orang guru dan manusia-manusia kantin yang masih terlihat mondar-mandir di area sekolah.

Anak itu mendongak. Menatapku dengan tatapan tanpa ekspresi.

"Tadi ibunya pesan apa? Suruh pulang sendiri atau mau dijemput?" tanyaku lagi.

Anak kecil itu hanya menggeleng tak peduli.

Sesaat kami saling diam. Masih kuperhatikan tingkahnya. Melihat jemari mungilnya yang sedang memainkan dasi. Kotor, dengan kuku panjang berwarna kehitaman.

Aku menghela napas.

"Rumahnya jauh nggak?" tanyaku.

"Di sana!" Dia menunjuk ke arah seberang jalan agak menyerong ke kiri.

"Jauh?"

Dia diam. Mungkin belum bisa membedakan jauh atau dekat.

"Ya sudah, bapak antar pulang saja ya?" Aku menawarkan. Kasihan.

Anak kecil itu tidak menjawab. Aku segera masuk ke dalam gedung kantor, menemui kepala sekolah dan meminta izin mengantar Dani pulang. Karena ini sudah hampir dua jam dia menunggu di pintu pagar.

Setelah kepala sekolah mengizinkan, aku mengambil motor di tempat parkir dan kembali ke pintu gerbang.

Anak kecil itu mau saja naik ke jok motor tanpa di minta dua kali. Mungkin karena lelah lama menunggu, mungkin karena lapar, atau mungkin karena sudah terbiasa ikut orang yang terbilang asing.

Motor berjalan pelan, mengikuti intruksi dari Dani harus berbelok ke mana.

Tak lama kemudian kami sampai di depan sebuah rumah yang lumayan besar.

Terlihat seorang wanita dengan dandanan menarik sedang duduk di teras rumah. Menunduk, sementara tangan sibuk mengetik sesuatu di layar ponsel yang ia pegang di atas pangkuan. Bibirnya sebentar tersenyum, sebentar terkikik geli seperti ada yang lucu.

"Itu siapa?" Aku bertanya pada Dani.

"Mama." Dani menjawab tak peduli sambil turun dari boncengan motor.

Wanita itu mendongak menyadari ada yang datang karena mendengar suara langkah kaki Dani yang setengah terseret. Lalu terdengar pekik tertahan dari mulutnya. Lekas dia beranjak menyambut Dani.

"Ya ampun, udah pulang ya? Mama lupa!" Serunya, "diantar siapa, Nak?" Dia bertanya sambil mengalihkan pandangan padaku.

Dani tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah.

"Saya satpam sekolah, Bu! Lama Dani menunggu di pintu gerbang, jadi saya antar karena berpikir ibunya sibuk." Setengah menyindir jawabanku.

"Haha, maaf merepotkan, Pak! Saya lupa!" Dia tertawa, bahkan tak merasa bersalah pada anaknya.

"Ya sudah, saya kembali ke sekolah, Bu!" Aku menghidupkan mesin motor lagi.

"Tunggu, Pak. Punya Facebook nggak? Sekalian untuk nambah daftar pertemanan!"

Aku menyebut sebuah nama. Dia mengangguk lalu membiarkan aku meluncur pergi.

***

       Nama akunnya Fania. Poto profil close up sendirian dengan wajah halus editan. Tidak memberi keterangan status hubungan.

Sepanjang hari memposting foto, dan status tentang macam-macam. Terlihat sangat aktif di kolom komentar, lampu hijau inbox-nya tak pernah berhenti menyala, bahkan hingga larut malam.

Terlihat bahagia, ceria, cantik dan menarik.

Sementara anaknya, masih saja terkena hukuman berdiri di luar kelas hampir setiap hari.

.

END


Kumcer : CINTA DARI SEGALA SISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang