Selamat Pagi, Sayang!

1K 148 15
                                    

Selamat Pagi, Sayang!

.

       Daniel membuka mata. Cahaya mentari pagi menerobos melalui celah jendela kamar. Menciptakan garis putih kekuningan yang kembali memantul melalui cermin tua yang tergantung di dinding kamar.

Dalam pelukannya, terbaring tenang seorang wanita tak berbeda jauh usia. Wajahnya masih terlelap penuh kedamaian.

Belahan jiwanya.

Diletakkannya telapak tangan ke atas dada yang mulai rata. Demi merasakan helaan nafas dan detak jantungnya. Terlengkung senyum lega di wajah Daniel, lalu mendekatkan wajah dan mengecup kening penuh garis dengan segenap rasa syukur dan cinta.

"Selamat pagi, Sayang!" Bisiknya lembut di telinga.

Terlihat kelopak mata dengan bulu berwarna abu itu bergerak terbuka. Sejenak menyesuaikan netra dengan cahaya, lalu menoleh dan memberi rengkuhan balasan dari cinta yang dirasakannya.

"Selamat pagi!" Balasnya mesra.

"Aku mencintaimu." Daniel mengusap pipi keriput wanita berambut terurai berwarna kelabu di dekapannya.

"Aku juga." Kecupan mendarat di wajah renta berahang kokoh sang pria.

Sejenak saling memeluk erat dalam rasa syukur penuh bahagia. Karena hari ini, mereka kembali berkesempatan menikmati hari bersama-sama.

***

       Telah terlewati masa puluhan tahun saling mengucapkan selamat pagi.

Sejak saat mengucapkan selamat pagi dengan mata penuh cinta dan nafsu yang menggebu.

"Selamat pagi, Sayang!" Ucap Daniel di sela napas yang memburu saat mengecup bibir kemerahan itu.

Kelopak mata berbulu hitam lentik sisa maskara kemarin dimana seharian mereka terpajang mesra di atas pelaminan, bergerak terbuka.

"Selamat pagi juga!" Seketika wajah itu tersipu, malu mengingat kejadian semalam. Juga karena belum terbiasa tidur satu ranjang bersama seorang pria, meski pria itu adalah cintanya.

Terengkuh oleh lengan Daniel tubuh padat berisi sang istri. Membawanya melayang dalam kebahagiaan meneruskan sisa semalam. Tak ingin segera beranjak dari peraduan, karena masih dalam suasana bulan madu yang memabukkan.

Pernah juga ucapan selamat pagi itu bernada kemarahan sisa pertengkaran semalam. Setelah bertahun tidur di ranjang yang sama, menjalani hidup berdua dan mulai memahami kelemahan masing-masing.

"Selamat pagi, Sayang!" Suaranya terdengar berat dan tertahan dalam keegoisan.

Kelopak mata wanita yang beberapa tahun telah menemani tidurnya bergerak terbuka. Lalu berpaling wajah dengan bibir mengerucut itu. Hanya saja masih terdengar olehnya balasan singkat.

"Selamat pagi juga!" Dengan singkat bernada kesal.

Hanya saja pertengkaran-pertengkaran itu tak pernah bertahan lama. Cinta yang sama kuat membuat ikatan tak terlepas di hati keduanya. Hingga akhirnya kembali saling memeluk dalam kerinduan. Karena semakin memahami betapa mereka berdua tercipta memang untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menuntut kesempurnaan.

Pernah juga Daniel mengucapkan selamat pagi penuh keharuan karena masih tetap bersama mereka saat itu. Dengan dua buah hati yang terbaring di atas ranjang sederhana mereka.

"Selamat pagi, Sayang!" Dikecupnya kelopak mata lelah sang istri. Setelah semalam hampir tak terlelap karena tangisan nakal sang buah hati.

Mata itu belum terbuka, hanya saja suaranya terdengar membalas sapa. "Selamat pagi juga, Sayang!" Jawabnya dengan suara pelan.

Puluhan tahun hidup bersama. Menjalani beragam kesedihan dan kebahagiaan hidup dengan tangan saling menggenggam. Merasakan airmata datang bergantian dengan tawa, bahkan kadang mengecap kedua rasanya di waktu yang sama.

Bersama waktu yang bergulir, mereka saling mengamati perubahan pada diri masing-masing.

Nafsu, cemburu, harga diri yang terlalu tinggi, semuanya telah terlewati seiring berjalannya waktu. Berganti dengan besarnya tanggung jawab, saling menjaga, dan berlomba saling membahagiakan.

Sampai dua buah hati yang telah terdidik penuh kasih sayang, akhirnya masing-masing memiliki keluarga yang harus dijaga. Terpisah mereka dalam atap yang berbeda. Kembali berdua Daniel dan Romeesa dalam rumah klasik berarsitektur sederhana mereka.

Hingga usia mereka menjelang senja.

Sesekali putra dan cucunya datang menjenguk, tapi mereka tak mengharap lebih banyak. Karena setiap keluarga berhak punya waktu untuk keluarga kecil mereka.

***

      Romeesa membuka mata. Cahaya mentari pagi telah dirasakan sengatnya. Menerangi kamar, juga separuh pembaringan.

Kepalanya menoleh. Dimana terlelap di sampingnya seorang pria yang tetap terlihat tampan meski dibungkus dalam rupa berusia senja.

Tak lagi terdengar dengkur halus dari hidung tinggi itu. Tidurnya terlalu tenang seperti tak terjaga oleh waktu.

Perlahan tangan tuanya menelungkup di atas dada yang dulu terlihat begitu bidang, tapi kini hanya berupa kulit pembungkus tulang.

Tak ada lagi ritmenya.

Bergeser ia meletakkan kepala yang miring tepat di atas tempat yang sama. Dimana dulu sang pria memberitahu di situlah letak jantung yang hanya berdetak untuknya.

Hening. Tak terasa degubnya.

Pelan, dengan tangan gemetar, direngkuhnya tubuh yang telah dingin itu. Tubuh yang dulu selalu jadi perisainya, dimana dia biasanya bersembunyi saat merasa takut menghadapi dunia.

Tergelincir air dari sudut matanya. Saat kepalanya masuk ke dalam dekapan pria yang tak akan pernah lagi membangunkannya dengan ucapan selamat pagi.

.

       Setelah menjalani kehidupan dalam satu atap yang sama, kau akan menyadari. Bahwa ketakutan terbesar yang dimiliki oleh sepasang jiwa yang benar-benar saling mencintai bukanlah saat salah satu darimu mulai menduakan hati.

Tapi saat  menemukan hari, dimana suatu pagi salah satu darimu tetap terlelap dengan netra tak pernah terbuka lagi.

Seperti sedang menunggu waktu. Siapa yang akan kehilangan lebih dulu.

***

Karena cinta sejati itu bukan tercermin dari mereka yang rela bunuh diri demi menyatukan rasa, tapi mereka yang rela melalui segala keegoisan dan rasa bosan demi bisa menua bersama pasangannya.

.

END

     




Kumcer : CINTA DARI SEGALA SISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang