#Save_Talent
.
Namanya Ayudia. Anak perempuan kecil berotak cerdas. Tidak banyak bicara, hanya suka menggambarkan perasaannya lewat pensil warna dan kata.
"Ibu, pensil warnanya abis ...!" Kata Ayudia sambil menarik-narik ujung rok sang ibu. Sementara di satu tangan lagi memegang buku gambar penuh coretan yang baru diukirnya.
"Nanti saja belinya ya, Nak. Ayah belum punya cukup uang untuk hal yang sesepele itu," jawab ibunya sambil sibuk menyiapkan bakul berisi sayur mayur yang akan dijualnya.
Ayudia melepaskan ujung rok sang ibu. Lalu kembali duduk di lantai mengamati hasil gambarannya. Merasa itu kurang sempurna, tapi tidak bisa meneruskan karena pensilnya kurang satu warna.
Akhirnya dia memutuskan membuat cerita di buku. Bercerita tentang apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Tentang peri-peri kecil yang bersembunyi di antara dedaunan kebun singkongnya, juga tentang hewan-hewan yang sebenarnya saling bicara saat manusia tak ada di sekitar mereka.
Ayudia, sosok sederhana yang memiliki intelegensi tinggi. Selalu memandang segalanya dari sudut pandang yang berbeda. Bercita-cita kelak ia akan mewarnai dunia dengan pensil di tangannya. Lalu menceritakan tentang segala keindahan lewat untaian kata yang ia puisikan dalam keromantisan.
Sayangnya, Ayudia hanyaLh anak yang tinggal di sebuah desa. Dikelilingi orang-orang dewasa yang hanya tahu bagaimana cara bertani di ladang dan beternak hewan.
"Nanti kalau sudah besar kau mau jadi apa?" Salah satu teman bertanya pada yang lainnya.
"Sopir!" Seorang anak menjawab. Anak yang ayahnya bekerja sebagai sopir mobil angkutan. Baginya, pekerjaan sang ayah adalah pekerjaan yang paling hebat. Karena itu kelak dia ingin menirunya.
"Guru!" Anak yang lainnya menjawab. Baginya guru adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan dan punya banyak uang. Karena yang dia tahu, tak ada seorang guru pun yang seragamnya sama lusuh dengan pakaian sang ibu. Dan tak harus berpanas-panasan pergi ke ladang dari pagi hingga menjelang petang.
"Dokter!" Yang satunya lagi menimpali. Sering dia melihat dokter satu-satunya di desa mereka. Pakai baju putih dengan alat aneh yang tergantung dilehernya. Rumahnya selalu ramai dikunjungi orang-orang yang sakit. Lalu saat keluar dari ruangannya, mereka yang semula bermuka muram terlihat tersenyum lega. Ajaib sekali!
Ayudia belum menjawab. Bingung dia. Tak tahu ingin bekerja jadi apa.
Dia suka menggambar dan menulis, tapi semua pekerjaan yang dilihat di desanya tak ada yang seperti itu.
Akhirnya dia hanya bisa termangu.
"Ibuu!" Ayudia berlari menghambur ke pelukan sang ibu saat pulang sekolah. Di tangannya terselip kertas selebaran. Berisi pemberitahuan bahwa dia mendapat kesempatan untuk mengikuti lomba menggambar tingkat kecamatan. Tidak banyak yang ikut terpilih. Hanya 3 anak dari tiap sekolah, Ayudia salah satunya.
Sejak duduk di bangku pendidikan yang paling dasar, Ayudia memang selalu menarik perhatian. Dia cerdas, dia berbakat. Hingga hampir setiap kali ada perlombaan, Ayudia yang diajukan sebagai perwakilan.
Ibu dan ayahnya tersenyum lebar. Merasa bangga akan putrinya. Berkali sang ayah menceritakan talenta sang anak tiap kali dia duduk bersama tukang ojek yang lain. Lalu dadanya mengembang bahagia tiap kali teman-temannya menyanjung bakat putrinya.
"Di rumah, semua dinding kamar dicoretnya!" Sang ayah tertawa mengingat hasil pekerjaan ayudia. "Buku-buku sekolah, bahkan baju sendiri pun digambarinya!" Ayahnya seolah mengeluh. Padahal ia sangat suka mengamati putrinya.
Bukan sekali ini Ayudia diikut sertakan dalam sebuah perlombaan. Kadang lomba lukis, kadang lomba mengarang. Berkali pula anak perempuan itu pulang membawa piagam di tangan.
Banyak dari mereka yang dewasa berdecak kagum melihat kepandaian Ayudia. Orangtua, saudara, juga para tetangga.
"Ayudia benar-benar berbakat ya. Gambarannya bagus. Kata-katanya juga sudah seperti orang dewasa!" Puji tetangga mereka setelah melihat hasil yang dibuat Ayudia di bukunya.
"Iya, tidak banyak anak yang punya kepandaian seperti Ayudia!"
"Pasti bapak dan ibunya bangga sekali ya!"
Hanya saja, mereka bilang itu hobi. Dan hobi, kecil kemungkinan memberi jalan untuk mendapat uang.
Ya, bagi orang-orang dalam kehidupan sederhana seperti Ayudia. Bisa menggambar dan membuat cerita ..
Hanyalah sebuah hobi.
Bagaimana cara mengembangkannya? Entah. Orangtua Ayudia yang hanya lulusan tingkat pendidikan rendah, tidak tahu bakat itu akan dibawa ke mana. Sama sekali tak mengerti jalur yang tepat untuk menempatkan bakat si anak.
Kini, Ayudia sudah lulus SMA. Tak ada lagi ada perlombaan menggambar, tak ada lagi lomba membuat karangan. Karena kini gadis yang beranjak dewasa itu, hanyalah seorang pramuniaga. Pramuniaga yang harus menghabiskan harinya melayani orang-orang yang datang dalam sebuah toko sederhana.
.
Tak semua bakat mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Terutama saat keadaan ekonomi dan pengetahuan orangtua tak dapat membantu di jalur mana talenta sang anak harus ditempatkan.
Padahal, hasil yang tak mudah ditandingi adalah saat seseorang menciptakan sesuatu setelah mengerjakannya dengan hati.
.
End
Ps : untuk para orangtua yang seharusnya bisa mengenali, lalu mengarahkan anaknya agar dapat mengembangkan bakat yang dia punya.
Bukan bermaksud menggurui, tapi di kehidupan nyata, banyak yang bernasib seperti Ayudia. Bukan cuma bakat dalam bidang seni, tapi juga bakat-bakat tak biasa lainnya (Hasil pengamatan Author).
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumcer : CINTA DARI SEGALA SISI
Cerita PendekKumpulan cerita kehidupan sehari-hari yang kadang tak pernah kita renungkan. Tentang keluarga, sahabat, guru dan cinta.