.
Bocah perempuan berusia 7 tahun itu terus menarik-narik lengan kakeknya. Sambil mulut mungilnya merengekan satu kalimat yang sama.
"Ayo ikut, Kek ...! Ayo ikut ...!" Katanya manja khas anak kecil.
Sang kakek hanya membalas dengan senyum lebar. Sesekali mata tuanya menoleh ke arah lelaki berkumis tipis yang sedang sibuk menaikkan kardus-kardus ke dalam mobil.
"Ayooo Kakek, ayo ikuut!" Bocah itu terus saja menarik-narik lengannya. Memaksa.
Andai saja yang bilang seperti itu wanita yang sudah duduk di kursi depan mobil, atau lelaki yang kini menutup pintu bagasi, mungkin dia akan segera bersiap menyiapkan beberapa potong pakaian untuk dibawa.
Lelaki berkumis tipis itu menoleh padanya. Si kakek tua balas menatap, sambil membersitkan harapan di sorot mata. Entah tertangkap sinarnya atau tidak. Hanya saja, kemudian pandangan lelaki berkumis tipis beralih ke bocah perempuan di hadapannya.
"Ratih, ayo masuk. Kita mau berangkat!" Perintahnya.
Bocah perempuan itu berhenti menarik tangan sang kakek. Menunduk sedih, karena keinginan yang tak terpenuhi. Lalu mulai berbalik ke arah mobil.
Lelaki berkumis tipis menghampirinya. Mencium punggung tangan yang sudah keriput itu sekilas. Lalu berkata.
"Lebaran tahun besok kami tidak bisa pulang ke sini, Pak. Karena bergantian pulang ke kampungnya Sari," ucapnya menyebut nama sang istri yang hanya tersenyum dari balik kaca mobil.
"Oh ya sudah, tidak apa-apa," jawabnya tenang, "hati-hati di jalan, Nak. Apalagi kamu membawa anak dan istrimu," lanjutnya disertai pesan.
"Ya, Pak!" Mengangguk si lelaki berkumis tipis. Kemudian berlalu masuk dan duduk di belakang kemudi mobil.
Suara klakson dibunyikan saat mobil mulai bergerak mundur, keluar halaman yang tak seberapa besar itu. Lalu setelah kepalanya lurus ke jalan, segera meluncur dengan kecepatan sedang.
Sempat terlihat oleh mata tuanya yang berkaca-kaca, lambaian tangan bocah perempuan kecil dari balik jendela.
Lalu rumahnya sunyi.
Perlahan kakinya menapak ke teras rumah. Dimana kemarin seharian ada seorang bocah asyik bermain dengan mulut cerewet bicara padanya.
Ah, bahkan putranya tidak banyak bicara padanya. Waktu sehari yang tersedia hanya dihabiskan bicara di telepon dengan rekan kerja. Sementara wanita muda yang bersamanya sesekali hanya menganggukkan kepala saat berpapasan.
Melangkah ke rumah dimana terpajang beberapa bingkai poto usang di dinding papan. Ada poto mendiang istri yang masih menatapnya dengan senyum. Dan poto-poto sang putra yang masih mengenakan baju seragam sekolah. Dulu, rumahnya seramai dinding itu.
Dia berlalu pergi ke dapur. Lelaki tua itu ingin membuat kopi. Dulu dia hanya tinggal berteriak memanggil nama sang istri. Atau menyuruh putranya agar sang ibu menyeduhkan kopi. Tapi sekarang dia hanya sendiri.
"Gulanya habis," gumamnya pada diri. Merogoh saku dan mendapati uang seratus ribu baru pemberian putranya tadi. Satu-satunya benda yang masih membuat mereka saling bicara.
Lalu kaki tuanya melangkah ke luar rumah. Mulai menapaki jalan berbatu yang membentang di depan halaman rumahnya.
Di jalanan dia menoleh ke salah satu rumah tetangga. Saat melihat seorang bocah laki-laki seusia cucunya. Terus merengek melihat ayahnya bersiap di atas motor.
"Ayah, ikut! Mau ikut!" Tangisnya tanpa henti.
Sang ayah mulai menyalakan mesin, terlihat ragu tapi pekerjaan sudah menanti. Jadi dia hanya melambaikan tangan pada anaknya. Sementara sang istri sibuk membujuk agar bocah itu berhenti menangis.
Lelaki tua tersenyum tipis. Ah, dulu dia juga pernah merasakan jadi sepenting itu. Dulu, kepergiannya pun sering ditangisi. Tapi itu dulu, sebelum putranya dewasa dan akhirnya sibuk mengurus pekerjaan dan keluarganya sendiri. Lalu akhirnya lupa, bahwa salah satu orangtua nya masih ada.
Dan akan ditangisi lagi saat sudah terbujur di atas meja dengan kain menyelimuti.
.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumcer : CINTA DARI SEGALA SISI
Kısa HikayeKumpulan cerita kehidupan sehari-hari yang kadang tak pernah kita renungkan. Tentang keluarga, sahabat, guru dan cinta.