Pindah kelas

234 51 8
                                    

Suasana kelas pagi ini sangat sejuk. Lantaran kipas angin yang katanya telah lama rusak selama 1 tahun belakangan, menjadi baru kembali. Sehingga menambah mood belajarku hari ini.

Di depan sana, Bu Riska sedang menjelaskan pelajaran matematika. Dia adalah wali kelasku dan otomatis dia juga yang mengajar semua mata pelajaran di kelas kami.

Sebenarnya, aku tidak terlalu menyukai matematika. Permasalahan untuk mencari x dan y selalu saja menguras otak.

Andai saja, sihir yang kupunya juga dapat menghilangkan pelajaran matematika. Sudah kujamin hidupku akan tenang dan terbebas dari rumus- rumus rumit tersebut.

Itu hanya andai kawan, tidak akan mungkin terjadi.

Beruntung, kipas angin tersebut telah berfungsi kembali. Sehingga panas di otakku dapat tertangani dengan sejuknya angin.

Pagi ini, aku mengikuti pelajaran matematika dengan baik karena kipas tersebut. Dan karena kipas tersebut juga, nilai latihan pertamaku mendapat nilai A disertai pujian Bu Riska.

"Terimakasih tuan kipas angin." Ucapku terkekeh dalam hati.

Sudahlah, lupakan saja apa yang dilakukan kipas tersebut. Aku hanya bergurau.

***

Di tengah pelajaran yang sangat kunikmati, Seorang guru berwajah tirus dan bertahi lalat di pelipis kanannya masuk ke dalam kelasku.

"Guru itu lagi." Ujarku, bersuara sangat pelan.

Dia menghampiri bu Riska dan berbisik sesuatu padanya.

Semenit kemudian, Bu Riska melirikku. Dan guru bertahi lalat tersebut menatap tajam ke depan.

Guru tersebut kembali berbisik. Dan Bu Riska mengangguk.

"Arkas!" Seru Bu Riska memanggilku.

"Iya Bu?" Aku tertegun penuh tanya, suaraku parau.

"Kamu kemasi barang-barangmu, dan ikut dengan Bu Kirana." Suaranya tegas, tapi tidak dengan raut wajahnya saat ini.

Aku masih tidak mengerti. Ada apa? Apa aku dikeluarkan dari sekolah?

"Memang kenapa Bu?" Suaraku melemah.

"Sudah. Lakukan saja!" Kali ini, suaranya menegas disertai wajahnya.

Karena takut, aku mengikuti perintahnya.

Setelah mengemasi barang-barangku kedalam tas, aku berjalan ke depan, menghampiri Bu Riska.

"Arkas pamit Bu." Suaraku memelas dan mengangkat tangannya menyentuh keningku.

"Iya.." Wajah dan suaranya tidak lagi tegas.

"Ayo Arkas.?" Ajak Bu Kirana yang mulai berucap.

Aku mengangguk, dan mulai berjalan bersamanya. Tetapi, baru di ambang pintu Bu Riska memanggilku pelan.

"Arkas.."

Aku membalikkan badanku, dan bertanya.

"Ada apa Bu? Apa ada yang tertinggal?" Tanyaku.

Guru tersebut menghampiri dan memelukku.

"Kamu anak yang pintar Arkas, jaga dirimu baik- baik. Dan orang yang bijak adalah orang yang mampu menggabungkan kepintarannya dengan hati nuraninya. Cermati kata ini baik- baik Arkas, Ibu yakin kamu akan memahaminya. Tapi, tidak sekarang." Pesannya, air matanya pun menetes.

Ia melepas pelukannya.

"Maksud Ibu?" Tanyaku lirih.

"Ini akan membantumu suatu saat nanti. Benda ini akan berfungsi jika kondisimu sudah sangat darurat." Guru tersebut menyerahkan sebuah akar pohon yang keras dengan panjang kurang lebih 5 cm.

"Apa ini Bu?" Aku kembali bertanya sambil mengambil benda tersebut.

Belum Bu Riska menjawab, Guru bertahi lalat tersebut memanggil dan mengajakku kembali.

Aku meng-iyakan ajakannya, dan lekas berjalan pelan meninggalkan kelas yang sekarang tersisa 24 siswa dan 1 orang guru.

Sebelum aku benar- benar meninggalkannya, aku kembali menatap Bu Riska penuh tanya. Dan Guru tersebut hanya tersenyum.

Aku pergi.

***

Apa yang sebenarnya terjadi? Semua pertanyaan yang ada di pikiranku masih tertahan di tenggorokanku dan menjadi teka teki.

"Kenapa tadi Bu Riska menangis, Bu?" Tanyaku penuh hati-hati, sambil berjalan bersamanya menuju ruang guru II.

"Ibu juga tidak tau. Mungkin beliau terharu." Jawabnya.

Aku terdiam, dan terus berjalan mengikutinya.

***
Rupanya, bukan ruang guru II yang menjadi tujuan kami. Tetapi, ruangan yang berada di sebelahnya. Ya, "Kelas Harapan."

Guru tersebut lekas membukanya, dan aku tertegun. Perkiraanku mengenai indahnya ruangan tersebut memanglah benar.

Aku terkesima.

***Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***
Bersambung.

An Unreal REALITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang