Scanestories

50 7 0
                                    

"Kamu kok manis banget, sih? Kayak gula." Mendengar perkataanku, kamu terkekeh. Aku tersenyum mendengar suara kekehanmu, karena sejak tadi kamu terdiam. "Kamu mau ngomong apa? Nggak biasanya banyak diam gini," lanjutku.

"Aku kayak gula, ya?" tanyamu. Aku mengangguk dengan senyum lebar. "Kalau gitu kamu kayak gigi."

Aku memberengut, tak terima disamakan seperti itu. "Kok aku kayak gigi? Nggak ada yang lebih bagus?" Sepertinya bibirku sudah maju dua senti.

Kamu terkekeh lagi, lalu menggeleng. "Begini..." Kamu menelan saliva. "Sugar is something so sweet ... and it hurts the teeth."

Aku terdiam, air wajahku berubah menjadi tak ada ekspresi. Karena sepertinya, aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Mau kamu apa?" tanyaku tanpa basa-basi lagi, to the point.

Kamu menghela napas, menyandarkan punggung pada sandaran bangku taman—mencoba merilekskan badan. Lalu wajahmu menengadah, matamu memandang langit.

"Kamu tahu ... gula hanya membuat sakit pada gigi. Membuat gigi berlubang, sakitnya bukan main, kan?" Aku menatapmu dari samping. Bisa sekali kamu mengutarakan semuanya dengan perasaan tenang? "Maka kamu membutuhkan dokter gigi untuk menyembuhkannya. Setelah itu, kamu membutuhkan pasta gigi untuk mencegah sakit pada gigi agar tak terulang lagi."

Aku membuang pandang saat matamu menatapku. Diam-diam, otakku mencoba mencerna perkataanmu. Diam-diam, hatiku ngilu saat mulai mengerti apa maksudmu.

"Aku ini gula, lalu kamu gigi. Kita anggap saja dokter gigi itu waktu, dan pasta gigi adalah seseorang yang menggantikan aku." Mendengarmu berkata begitu, tanpa perintah mataku berair. "Aku ini sering menyakiti kamu, Sha. Berhenti menahan rasa sakit pada gigi hanya karena kamu menyukai manisnya gula."

Kamu menghela napas saat melihat air mataku. Kamu meraih daguku dengan lembut, memaksa mataku untuk menatap matamu. "Aku yakin kamu sangat pintar untuk mengerti apa maksudku." Perlahan, ibu jarimu mengusap air mataku. "Berhenti menangis, karena aku bukan seseorang yang patut kamu tangisi."

Kamu berdiri. Menepuk dua kali puncak kepalaku dengan lembut. "Aku pergi, ya."

—sugar cane
Mengapa kamu memutuskan hubungan kita dengan cara baik-baik? Mengapa tidak dengan cara yang menyakiti hati saja? Agar aku ada alasan untuk membencimu.
Kalau sudah begini, bagaimana caraku melupakanmu?

Daily MoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang