Pagi ini aku berangkat sekolah sedikit lebih siang dari biasanya, saat ku lihat jam kulit berwarna krem yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Untung saja aku sudah menerobos gerbang sekolah. Ini semua karena Brandon dan Bryan. Dua bocah itu meminta supir kami untuk mengantar ke sekolah mereka lebih dulu karena alasan mereka piket. Gila kan, untuk ukuran anak-anak malas beres-beres seperti mereka, datang pagi-pagi ke sekolah dengan alasan mau piket itu sangat tidak wajar.
Tapi walau bagaimanapun satu suara lawan dua di tambah mama yang berada di pihak mereka, sudah pasti aku tidak akan menang alias wajib pasrah, padahal sekolah mereka lebih jauh.
Tiiin tiiiiin tiiiin
Suara klakson motor dan suara berisik mesin motor memekikkan telingaku, padahal jelas-jelas aku berjalan di pinggir, ku lihat dari tadi anak-anak yang membawa motor tampak santai-santai saja lewat tanpa mengganggu pejalan kaki. Dan saat aku menoleh, barulah aku tau pelaku klakson sialan itu.
"LO APA-APAAN SIH" teriakkku kesal sembari menutup telinga. Sudah jelas kan mood ku sebelumnya seperti apa? di tambah ada orang se-mengesalkan ini.
Tapi ajaibnya, orang ini justru tersenyum cerah tak lupa jajaran gigi putihnya yang rapi ikut memamerkan diri.
Seolah teriakanku barusan adalah suara kicauan burung yang merdu,
"ojek neng?" tawarnya kemudian tersenyum lebih lebar, sumpah itu adalah kalimat paling jadul yang ku dengar di tahun ini. Maksudku, masih ada ya anak remaja jaman now yang menggunakan gurauan sereceh dan seklise itu. Ya, ada sih. Makhluk itu contohnya."nggak" tolakku ketus, kemudian ku putuskan untuk berjalan semakin cepat.
Tapi bukan dia namanya kalau menyerah, karena kini cowok itu justru menyamai langkahku dengan memperlambat laju Vesvanya. Tunggu, tumben banget ini cowok bawa vesva, mana motor sport kebanggannya itu.
"yakin nggak mau ojek?" tanyanya lagi-lagi. Aku menarik nafas demi menenangkan diri seraya berfikir untuk melontarkan kalimat penolakan seperti apa pada cowok satu ini.
"Libra si cowok penunggang Vesva kuning, gue bilang nggak ya nggak, mending lo belok dan parkirin motor lo!" ujar ku menunjuk tempat parkir siswa berada. Ku harap dia tahu kalau tampangnya sangat lucu saat ku panggil seperti itu. Kenapa aku jadi ingin tersenyum.
"sial... mami sih" dumelnya pelan, entah kenapa dia malah memaki ibunya sendiri. Tak ingin tahu, Aku memutuskan untuk segera meninggalkannya yang kini ku dengar tengah berseru "tungguin bentar Al, jalan lewat koridornya bareng!"
"OGAH" balasku kemudian setengah berlari karena bel masuk sudah berbunyi sejak tadi.
***
Olahraga di jam pelajaran ketiga memang sangat menyiksa, tahu kenapa? Iya, karena matahari sudah mulai naik dan mendekati panas, walaupun baru jam setengah sembilan. Sebenarnya aku tak perlu heran, jelas karena negaraku ini beriklim tropis.
Yang semakin menambah penderitaan yaitu olahraga dengan materi basket, double damn, karena olahraga basket kali ini di lapangan outdoor.
Sebenarnya tadi sudah pengambilan nilai satu-satu oleh pak septa ─ guru olahraga kami ─ untuk praktek shooting bola, dan aku sangat amat yakin nilaiku buruk karena lemparanku tak pernah lolos menembus ring. Pak Septa memberikan kesempatan kepada kami yang belum maksimal untuk memperbaikinya minggu depan, karena nilai ini akan masuk ke nilai akhir dalam semester ini, maka aku memutuskan untuk berlatih melakukan shooting sekaligus long shoot.
Kini hanya tersisa aku, Bila dan Frenda di lapangan, sementara anak laki-laki sudah pergi menuju lapangan indoor untuk bermain futsal. Anak laki-laki kelasku lebih tertarik dengan futsal. Padahal tadi aku berharap Jeff − anak basket di kelasku− mau mengajari kami, sayangnya dia sudah pergi lebih dulu. Begitu juga dengan Ney, dia memang sangat jago untuk urusan olahraga, mengingat postur tubuhnya yang porposional bak seorang model, beruntunglah Ney yang punya bokap bule.
KAMU SEDANG MEMBACA
Libra
Teen FictionDi ganggu Libra itu punya fase tersendiri dalam hidup Al. Fase pertama risih, fase kedua terbiasa, fase ketiga candu. #TEENFICTION