Part 2

11K 609 37
                                    

Sesampainya di kelas, suasana kelas masih ramai, guru masih belum memasuki kelas. Aku langsung duduk di tempat dudukku, lalu menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Arin yang duduk di depanku, membalikkan badannya dan berbicara padaku.

“Vin, nanti pulang bareng lagi yuk! Aku kangen ditraktir siomay di perempatan sama kamu,” ajak Arin.

“Makan terus yang dipikirin, kalau berat badan nambah langsung panik pengen diet,” kataku.

“Dih cuma kali ini aja kok, plis Vin....”

“Iya deh iya....”

“Makasih Vin, jadi makin sayang sama kamu.”

“Idih mulai deh gombal.”

Arin hanya tertawa.

“Kalian ini nggak di kelas, nggak di luar. Mesra-mesraan mulu kerjaannya. Udah cepet jadian sana!” ujar Vera, teman sebangku Arin.

Aku dan Arin memang sering disangka sebagai pasangan. Banyak yang bilang kalau kami ini serasi. Tapi, selama ini aku tidak pernah menganggap Arin lebih dari sahabat. Mungkin Arin pun juga sama, ia hanya menganggapku sebagai sahabat tidak lebih dari itu. Jadi kurasa mustahil kalau kami jadian.

Sepulang sekolah, aku pulang bersama Arin dan seperti permintaan Arin tadi, aku mentraktirnya siomay kesukaannya.

“Vin, akhir-akhir ini kamu makin dekat ya sama Refan?” tanya Arin.

“Kenapa memangnya?” tanyaku.

“Kalian pacaran?”

“Se...sembarangan..., siapa juga yang pacaran?”

“Bercanda kok, nggak usah cemberut gitu napa? Yaa..., aneh aja... kemarin-kemarin aku habis nolak Refan, eh dia malah deket sama kamu. Apa dia minta kamu buat nyomblangin dia sama aku?”

“Yaa..., begitulah...”

“Terus kamu mau?”

“Yaa..., aku nggak enak nolaknya.”

Ekspresi wajah Arin yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Sepertinya ia tidak suka aku ikut campur urusannya dengan Refan.

“Ma-maaf..., kamu nggak suka ya sama Refan? Atau mau aku comblangin sama cowok lain?” tanyaku.

Arin mendengus kesal.

“Gavin..., kamu itu nggak pernah sadar ya?” tanya Arin.

“Sadar? Sadar apanya?” tanyaku.

“Lupain aja, aku mau pulang!”

“Eh...?”

Arin kelihatan kesal, sepertinya ia ngambek lagi. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Arin sama sekali. Biarlah dia ngambek, paling sehari dua hari juga ilang ngambeknya. Atau tinggal kasih dia siomay biar ngambeknya ilang.
Keesokan harinya, ternyata Arin masih kesal padaku. ia tidak menjawab sapaanku, dan selalu memalingkan wajahnya dariku. Huft, dasar Arin... Kebiasaan kalau lagi ngambek. Bahkan Vera pun sampai heran dibuatnya.

“Arin kenapa, Vin?” tanya Vera.

“Biasa, ngambek,” jawabku.

“Kamu gak peka sih, Vin...”

“Apanya?”

“Hmm..., pikir sendiri.”

Aku hanya menghela nafas. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran perempuan. Nggak peka? Apanya? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa aku melakukan hal yang salah? Au ah gelap, lebih baik aku pergi ke luar kelas mencari udara segar. Baru melangkah keluar pintu, aku sudah dikejutkan oleh kehadiran makhluk pengganggu lain.

“Yahoo...,”sapa Refan sambil melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.

“Nggak usah sok imut, jijik lihatnya,”ujarku.

“Hahaha, ayo ke kantin bareng!”

Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan ajakannya. Dan mungkin aku bisa menceritakan soal Arin padanya. Selesai membeli makanan, aku dan Refan duduk di tempat biasa. Tempat itu begitu sejuk dan tenang, tempatnya ada di halaman belakang sekolah. Tempat yang sangat cocok untuk bersantai. Aku pun menceritakan soal Arin ke Refan.

“Jadi... Arin kesal karena kamu mau nyomblangin aku sama dia? Duuh..., kenapa?” tanya Refan dengan nada kecewa.

“Mana aku tahu..., mungkin karena dia memang benar-benar punya orang lain yang dia sukai,” jawabku.

“Apa Arin begitu membenciku? Nggak, aku nggak mau!”

“Nggak kok, aku rasa Arin bukannya benci kamu. Tapi, mungkin dia tidak suka aku mencampuri urusan percintaannya.”

Refan menundukkan kepalanya dan kecewa. Yah, siapa juga yang tidak sedih ketika orang yang disukainya selalu menolaknya.

“Bagaimana? Apa kamu menyerah?” tanyaku.

Refan mengepalkan tangannya.

“Nggak, masih belum! Aku akan tetap berusaha mendekati Arin,” jawab Refan.

“Oh, begitu.... Ya..., baguslah..., ” kataku.

“Tolong pinjamkan kekuatanmu, Gavin! Langkah pertama, aku harus menjadi temannya, eh bukan..., menjadi teman dekatnya.”

“I...iya...”

Mata Refan terlihat berkilauan, dia benar-benar serius untuk mendapatkan hati Arin. Ada perasaan senang ketika melihatnya bahagia dan bersemangat seperti ini. Duh, kenapa aku jadi seperti ini? Aku merasa ada yang aneh dengan diriku.

To Be Continued

GlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang