Part 5

7.6K 516 30
                                    

Keesokan harinya di hari minggu, suara bel yang berisik membangunkan tidurku. Aku beranjak dari tempat tidur dengan ogah-ogahan. Pergi ke pintu depan dan membuka pintu. Ternyata Arin yang mengenakan kaos dan celana training lengkap dengan handuk di leher, seperti orang mau jogging.

“Gavin..., jogging bareng yuk!” ajak Arin.

“Jogging? Hoaaahmmm...., males ah!” kataku yang masih mengantuk sambil mencoba menutup pintu, tapi Arin menahannya.

“Ayo ikut! Biar badanmu itu sehat dan gak gendut! Pokoknya kamu harus ikut!“

“Hoaaahhmm...., iya deh iya.... Dasar pemaksa!”

Aku mengganti pakaian dan sepatuku, lalu jogging dengan Arin keliling kompleks perumahan. Sebenarnya aku ini paling malas kalau disuruh jogging, tapi kalau olahraga yang lain seperti futsal, sepakbola atau basket sih gak masalah. Jadi bisa dibilang kalau aku ini lumayan atletis.

“Kalau pengen jogging, kenapa nggak ngajak Refan aja?” tanyaku.

“Kenapa tiba-tiba bawa-bawa Refan?” tanya Arin.

“Ya nggak apa-apa sih, cuma kamu kan akhir-akhir ini lagi deket sama Refan.”

Arin hanya tersenyum.

“Kenapa malah senyum-senyum sendiri?” tanyaku.

“Hehe, kamu cemburu ya? Ngaku aja?” tanya Arin.

“Ce-cemburu? Nggak ah.”

“Kamu cemburu pun nggak apa-apa kok, aku malah senang.”

Tiba-tiba Arin tersandung, dan reflek aku langsung menangkap tubuh Arin sebelum dia jatuh terjerembab ke tanah.

“Duh, kamu itu hati-hati dong!” pesanku.

“I..iya maaf, Vin,” ucap Arin.

Wajah Arin memerah.

“Muka kamu merah, kamu sakit, Rin?” tanyaku.

“Nggak kok, nggak, aku sehat,” jawab Arin.

“Atau kamu kecapekan? Mau istirahat?”

“I...iya ayo istirahat dulu sebentar!”

Selesai jogging, kami pulang ke rumah masing-masing. Huft, lelah sekali... Arin tidak pernah berubah, dari dulu selalu memaksaku melakukan apa yang dia mau. Tapi, mungkin itu sisi manis dari dirinya. Kurasa, itu tidaklah buruk. Aku penasaran, siapa orang yang Arin sukai.

Keesokan harinya, saat aku kembali dari ruang guru karena urusan tugas, aku melihat Refan dan Arin. Aku hendak menyapa mereka. Namun mereka kelihatan sangat dekat. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Kebersamaan mereka, membuat hatiku sakit. Kenapa aku seperti ini? Mungkin aku memang benar-benar mencintai Refan. Tapi aku sadar, meskipun aku mencintai Refan, perasaanku takkan terbalas. Refan mencintai Arin, bukan aku. Peranku di sini, hanya sebagai lem yang merekatkan hubungan mereka berdua. Mungkin seharusnya aku bahagia jika kedua temanku ini dapat bersatu. Akan tetapi, aku tak bisa membohongi hatiku ini, bahwa aku merasakan sakit saat melihat mereka bersama.

“Ah, Gavin! Kenapa kamu cuma berdiri di situ? Ayo sini!” sapa Refan.

Aku hanya diam, lalu pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Rasanya seperti ada pisau yang mengiris-iris hatiku. Aku sudah tidak sanggup lagi, aku butuh waktu untuk sendiri. Ini pertama kalinya aku merasakan rasa sakit ini. Kenapa rasanya begitu menyiksa?

Keesokan harinya, saat aku hendak ke kantin membeli makanan, ada yang menarik tanganku. Ternyata itu Refan, aduh bagaimana ini? Kemarin aku sempat mengacuhkannya? Apa dia kepikiran?

“Gavin, kamu kenapa? Tingkahmu aneh dari kemarin,” tanya Refan.

“Aku nggak apa-apa, kok. Kemarin aku cuma lagi buru-buru mau ketemu temen,” jawabku berbohong.

“Oh gitu, ya syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Kalau ada masalah, bilang ya! Aku pasti akan membantumu!”

“Terima kasih, Fan. A-anu, sekarang tangannya bisa dilepas kan?”

Refan menunduk dan melihat tangannya yang masih memegang tangan.

“Ma-maaf, sampe lupa, hehe,”ucap Refan.

“Ng...nggak apa-apa.”kataku.

“Ngomong-ngomong, ada yang mau aku bicarakan denganmu.”

“Apa itu, Fan?”

“Besok, aku mau menyatakan perasaanku sekali lagi pada Arin. Kamu mau membantuku kan?”

Rasanya ada sebilah pisau yang menusuk-nusuk hatiku setelah ia mengucapkan kalimat itu. harusnya aku senang karena kedua temanku akan bersatu, tapi hatiku ini tetap tak bisa menerimanya. Tapi, jika aku menolak, Refan pasti akan kecewa. Ah sudahlah, biarlah aku menanggung semua rasa sakit ini, asalkan Refan bahagia.

“Ba...baiklah...,”jawabku.

“Yes, besok tolong sampaikan ke Arin kalau aku menunggunya di halaman belakang sekolah. Thanks, Vin,” ucap Refan.

Aku hanya tersenyum, namun dalam hati aku seperti ingin menangis. Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis di depan siapapun. Aku hanya akan menyusahkan orang-orang di sekitarku. Aku harus tetap melanjutkan peranku sebagai lem perekat hubungan Refan dengan Arin.

To Be Continued

GlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang