Akhir pekan Tandrie mengharapkan bisa memeluk gulingnya lebih lama. Ia ingin suasana damai kamar di hari minggu yang mendung. Tapi sepertinya akhir minggu ini akan kembali gagal mengingat malaikat kecilnya sudah menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar.
"Daddy, bangun!"
"Eng.." Tandrie hanya mengeram rendah, bermaksud untuk kembali memejamkan mata. Ayolah akhir pekan saatnya tidur dan bangun siang.
"Ayo, daddy! Lala dobrak pintunya lhoo." Ya ampun, kenapa malaikat kecilnya sudah pintar mengancam sih? Turunan siapa ini?
"Ya..ya... daddy bangun." Tandrie menyiapkan muka semalas mungkin, berharap malaikat kecilnya mengizinkan ia kembali tidur.
"Ih, daddy jorok!"
"Ya sudah daddy bobok lagi."
"Nggak!" Lala kecil pun mendorong Tandrie agar keluar kamar, "Ayah sudah siap daddy, ayo kita pergi bersama!."
Tandrie menepuk jidatnya, kalau soal janji Lala kecil ini pasti selalu ingat. Kalau bukan karena gedoran Lala, Tandrie pun lupa menjanjikan keluar bersama akhir pekan ini. Pantas Lala merengek-rengek sejak tadi meski diakhiri dengan mengancam daddynya sendiri.
"Ya..ya..daddy mau mandi dulu. Masak daddy keluar bau iler begini."
"Oke, daddy. Lala dan ayah nunggu dibawah ya!" pekiknya ceria. Gaun rumbai-rumbainya pun ikut bergerak ke kiri dan kanan mengikuti gerakannya.
Tandrie sebetulnya malas sekali keluar, apalagi ketika keluar bertiga bersama Lala dan Furqon. Kenapa ia harus dibawa-bawa sih? Meski Tandrie menggerutu setiap mereka keluar bertiga toh ia selalu luluh jika sudah berhadapan dengan Lala, malaikat kecilnya.
Tandrie menghembuskan nafas berat. Sungguh ia bukan pembenci anak kecil, bukan juga benci suasana ramai. Hanya saja keluar bersama Furqon hampir selalu menimbulkan tanda tanya bagi orang-orang sekitarnya. Sikap cuek Furqon justru menambah orang-orang awam di sekitar mereka berfikir yang tidak-tidak.
"Eh, ada pasangan homo lagi belanja. Nggak punya malu!" Celetuk salah satu dari mereka. Tandrie seketika itu ingin sekali meluruskan orang yang berkomentar tersebut. Sudah naik ke ubun-ubun kekesalan, tapi Furqon selalu mencegah rencananya.
"Sudahlah, Mas. Biarin aja mereka."
"Tapi..." Tandrie pun menyerah. Toh Furqon tidak merasa keberatan dengan tuduhan-tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya. Semakin besarlah rasa bersalah Tandrie pada Furqon, karena pada dasarnya tuduhan itu baru Furqon alami sejak mengenal Tandrie. Tandrie yang sudah sejak kecil distigma negatif lebih bisa menerima.
"Mereka itu nggak mikir apa? kasihan mental anaknya. Digedein sama pasangan homo." Hampir jatuh air mata Tandrie mendengar celotehan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tandrie langsung melesat ke kamar mandi dan menumpahkan air matanya. Ia tak habis fikir, mengapa mereka begitu tega?
"Hiks...hiks..." Furqon pun menyusulnya dan memeluknya lembut. Kadang Tandrie iri dengan kepribadian Furqon, mengapa ia bisa setegar itu? Ia ingin seperti Furqon bersikap acuh dengan sekitar terutama tidak menanggapi orang-orang yang berkomentar negatif terhadap kehidupannya., "Mereka jahat sekali... hiks.."
"Mas, kita tidak bisa mengharapkan semua orang bersikap sesuai dengan keinginan kita. Cukup diamnya kita atas perlakuan kekanak-kanakan mereka menjadi tanda kedewasaan kita."
"Apa kamu tidak sakit hati?" Tanya Tandrie pada akhirnya. Pertanyaan ini selalu ia pendam. Ia sungkan untuk bertanya, karena juga dimatanya Furqon sosok yang kuat, pengayom, juga pekerja keras. Ia bahkan menjadi sosok pelindung bagi Tandrie setelah papanya meskipun usia Furqon dua tahun dibawah Tandrie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenda Asa (3) [TAMAT]
Short StoryAlbert nyata ada di depannya, kembali dengan membawa segala kesempurnaan. Dan sebagaimana yang Reyna katakan, jomblonya Tandrie membuka peluang besar kasih lama itu terjalin kembali. Hanya ada dua jalan, pergi atau menjalin kasih. Opsi pertama tentu...