Tujuh- No Chance?

55 9 0
                                    

Menjalani study S3 memang tidak mudah, Tandrie paham itu. Namun vakumnya ia yang hanya selama 3 tahun tak disangkanya cukup membuatnya kerepotan menyesuaikan kembali ritme kuliah.

Sulit rasanya jika Tandrie tidak tersentuh dengan sikap Anin. Terutama dari sisi penerimaan bahwa masa lalunya bisa diatasi dengan mudah. Tandrie penasaran, seperti apa masa lalu Anin. Tandrie yakin, sosok Anin yang sekarang sangat mungkin hasil tempaan kondisi yang sulit.

Kalau bukan karena ini tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, enggan rasanya ia bertemu dengan Albert di luar kelas. Tandrie sangat berhati-hati agar tidak ada sekalipun asistensi pribadi atau kegiatan akademik apapun yang mengharuskan ia dan Albert berdua saja.

Bahaya.

Tapi nampaknya kali ini tidak bisa dihindari, tak hanya dia sebenarnya. Namun yang kemarin tidak memenuhi kriteria minimal harus menebusnya dengan tugas yang langsung dipresentasikan ke ruangan beliau. Dan apesnya Tandrie masuk diantara mahasiswa yang tidak bisa memenuhi kriteria minimal.

"Permisi, Prof. Rathbone, saya Tandrie." Tanpa menyebut dia dari kelas mana, yakin bahwa Albert tidak akan tega mengusirnya.

"Masuk." Tandrie pun masuk, dan yang cukup melegakan masih ada mahasiswa lain yang juga memiliki nasib yang sama.

Tandrie menunggu dengan sabar hingga sesi mahasiswa sebelumnya selesai. Pikirannya kembali menjelajah ke pertemuan dirinya dengan Anin.

"Aku hanya butuh komitmen kak. Kalau ya, mari kita lalui bersama. Belajar bersama. Seberat apapun tidak saling meninggalkan. Menjaga kuat-kuat bangunan pernikahan." Tegas Anin.

Saat itu Tandrie melihat kilat kesungguhan dibalik sosok slengekan yang kerap ia tunjukkan.

"Kalau tidak. Mari segera kita akhiri." Tandrie masih heran, mengapa Anin bisa dengan penuh percaya diri?. Tidakkah ia takut tersakiti.

"Seseorang yang telah melewati badai, tidak akan goyah karena gerimis. Percayalah kak."

Tarikan nafas berat terhela terdengar jelas bagi siapapun yang ada di dekat Tandrie.

"Saudara Tandrie!."

Apa benar menikah dengan Anin adalalah jalan yang tepat? Bisakah dengan ia menikah tidak ada lagi yang tersakiti, termasuk dirinya sendiri?

"Saudara Tandrie!."

Tapi kepercayaan diri Anin yang ditunjukkan tak pelak membuat Tandrie ikut optimis. Setiap orang punya masa lalu, appaun itu berhak atas masa depan yang lebih baik.

"Tandrie, are you ok?" Tandrie tersentak ketika punggung tangannya dielus lembut.

Sentakan Tandrie lakukan sebagai gerak refleks. Ia benar-benar tidak sadar jika tangannya telah digenggam Albert. Sejak kapan?

"I'm sorry, Tandrie." Ucap Albert pelan.

"Maafkan saya juga, Prof. Rathbone." Kali ini Tandrie sadar Albert tidak salah sepenuhnya. Ia yang sedari tadi melamun hingga tidak mengindahkan apapun.

"Ah, saya tidak apa-apa, Prof. Maaf saya melamun tadi. Saya kesini menyerahkan tugas." Dengan tergesa Tandrie mengeluarkan tugasnya dari dalam tas selempangnya. Tugas dengan ukuran A4 setebal 53 halaman.

"Letakkan saja disitu."

Dahi Tandrie mengerut heran, "Tidak perlu presentasi, Prof?"

"Tidak perlu, kekuranganmu tidak sebanyak mahasiswa yang lain. Dan sebagai gantinya, bisakah kita bersikap sebagai teman. Tidak perlu didepan banyak orang. Cukup saat kita berdua saja. Please."

"Maaf, Prof. Tapi itu tidak sopan."

Ini yang Tandrie takutkan. Ia merindukan perhatian Albert. Jika dulu terhalang waktu dan tempat, Tandrie bisa mengabaikan sosok Albert. Namun jika dekat begini, pesona Albert tidak bisa ia hiraukan.

"Maaf, Prof. Saya mohon. Saya ti-tidak bisa."

"Kenapa? Apa salah kita berteman?Apa karena ini di Indonesia?"

Tandrie menarik nafas panjang kemudian menggeleng lemah. Tidakkah Albert mengerti? Kata 'teman' pada saat mereka adalah mantan kekasih tidaklah relevan. Jika bukan keduanya, pasti salah satu terbawa perasaan. Dan seratus persen yakin, dibalik fakta bahwa hubungan sesama jenis ada sebagian yang mengerti dan mendukung, ada sebagian yang menolak, tidak lantas membuat perasaannya kebas. Justru Tandrie yakin dialah yang mudah terbawa perasaan.

Albert yang mapan, rupawan, mengayomi, tidak sekalipun pernah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. Pun cetusan Albert mengenai pernikahan – jika Tandrie mau – akan disanggupinya.

Tapi ini salah

"Jangan Albert." Tandrie terdiam sejenak setelah ia menyadari tidak memanggil Albert dengan sopan, "Maksud saya, Prof. Rathbone. Menjaga jarak lebih baik."

Tandrie berpikir keras. Meski tidak pernah mendesaknya hingga fisik, Albert tidak akan menyerah begitu saja demi mendapatkan predikat 'teman'. Harus ada sesuatu yang benar-benar membuat Albert mundur

"Sa-saya akan me-menikah, Prof."

Dan tanpa menunggu respon Albert, Tandrie segera keluar dari ruang dosennya. Ia tidak sanggup melihat raut kekecewaan Albert lagi.

Ia tak sanggup menyakiti Albert lagi. Membiarkan ia mendekat tapi melarang memiliki. Jelas itu lebih menyakitkan dibanding memutus semuanya sekalian.

"Anin, mari kita bertemu sekali lagi." Segera setelah mendapat jawaban dari Anin di seberang telepon, Tandrie mematikan ponselnya.

Merenda Asa (3) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang