Empat - Jomblo Bukan Pilihan

56 10 0
                                    

Malam ini tampaknya hanya Reyna yang menikmati film. Sedari tadi ia menjerit, tertawa, menangis namun seseorang disampingnya tak nampak bereaksi.

"Kak!" Akhirnya Reyna berteriak dan melempar bantal kearah Tandrie.

"Apa sih, Na?"

"Kakak yang kenapa, kok malah tanya Nana? Tadi ngalamun apa sih? Sampai Nana dicuekin."

"Albert."

"Beh, katanya dah selesai urusannya. Gimana sih?!"

"A-Aku nggak bisa sepenuhnya, Na." Tandrie tertunduk malu. Kenapa rasa ini harus kembali hadir? Padahal sudah bagus mereka dulu terpisah, memaksa jalinan kasih terlarangnya putus. Jarak dan waktu bisa membuat Tandrie lepas dari jerat cinta Albert. Tapi kini hanya dengan hadirnya Albert cukup membuat hati Tandrie kembali berharap.

Helaan nafas Tandrie terdengar lebih jelas. Ia menyadari betul setelah ketiadaan orangtua mereka, hanya sang adik satu-satunya yang mengobati sepi yang mulai merasuk.

Namun adiknya sudah berumah tangga. Sudah ada tanggungan suami dan anak. Mau sampai kapan egois menggelayuti sang adik?

"Kak, oke. Nana mungkin tidak punya hak untuk menghakimi lagi kak Tandrie. Tapi.."

"Tapi apa Na?"

"Dengan mempertahankan status lajang, siapa sih yang nggak berharap?"

"Nana, tolong-"

"Jangan bahas nikah? Well, kak itu nggak bisa dihindari. Kakak jomblo, itu satu fakta. Terlepas apakah Albert single atau suami orang, jomblonya kakak menjadi peluang Albert untuk mendekat."

"Tapi nikah demi menghindari Albert juga nggak bisa juga."

"Nggak bisa apa nggak mau? FYI kak, perselingkuhan sejenis kini menduduki peringkat atas penyebab perceraian."

"Aku bukan pelakor!"

"Buktikan!"

Tandrie meringis, Reyna menghela nafas lelah. Kakaknya ini laki-laki tapi lebih perasa dari dirinya yang perempuan. Dan sesungguhnya dirinya benci tidak bisa membuat Tandrie berhenti meratapi nasib. Trauma itu tidak hilang. Dekade berlalu, pelaku-pelaku sudah dihukum. Tapi tetap saja bagi korban, trauma itu tak pernah lekang meski waktu berganti.

Ini juga yang membuat Reyna ngotot bahwa selepas kepergian orangtua mereka, Tandrie harus tinggal bersebelahan dengan dirinya. Agar bisa terus memantau kakaknya yang rapuh.

Bukan berarti selama ini Reyna tidak pernah bermasalah dalam kehidupannya sendiri. Belum lama ini Furqon, suaminya mengutarakan keputusan pengambilan studi kedokteran sub spesialis di luar negeri. Tak lupa juga perihal pemboyongan dirinya dan sang anak. Tapi bagaimana bisa ia harus meninggalkan Tandrie sendiri di Indonesia?

Tapi sang kakak juga membutuhkan dirinya. Dua laki-laki dalam hidupnya tidak ada yang bisa Reyna pilih. Semua penting, semua berharga, dan semuanya membutuhkan dirinya.

"Kak, please jangan kayak gini dong. Nanti kalau Lala lihat bagaimana?" bujuk Nana pada sang kakak. Reyna menghapus air mata yang mengalir pelan ke pipi kakaknya.

"Kak, aku bahas nikah lebih ke usaha bahwa kita tidak boleh menyerah."

"Ya.."

Sepetinya Reyna tidak bisa lebih lama lagi menunda perihal keinginan sang suami study ke luar negeri. Menarik nafas dalam dan perlahan, berharap penjelasannya tidak mengecewakan sang kakak.

"Kak, Nana sebenernya mau bilang sesuatu. Dan kebetulan malam ini kakak menginap disini."

"Ada apa memangnya, Na?" dahi Tandrie mengerut bingung.

"Kak, Nana tanya. Akhir-akhir ini sering merasa kesepian nggak, kalau Nana sibuk dengan keluarga Nana sendiri?"

Tandrie terdiam. Firasatnya merasakan akan ada topik 'tidak biasa' yang akan diangkat sang adik. Daripada menjawab, Tandrie lebih memilih mengangguk.

"Kak, Mas Furqon menyampaikan pada Nana perihal-"

"Study ke luar negeri?" sambar Tandrie

"Eh? Kakak sudah tahu?"

Kembali, Tandri menjawab dengan anggukan. Bohong kalau ia tidak resah dengan kabar Furqon akan melanjutkan study kedokterannya ke luar negeri. Setelah masalah Albert datang, tentu saja Tandrie akan sangat kosong jika kerabat terdekatnya, sang adik dan keluarga kecilnya justru pergi.

"Jadi, bagaimana kak?"

Tandrie harus bagaimana? Meminta mereka untuk tidak pergi, itu tindakan yang sangat egois menurutnya. Namun tidak dipungkiri selama ini merekalah hal terakhir yang Tandrie miliki. Haruskan ia kembali sebatang kara?

"Pergilah, Na. Furqon lebih membutuhkanmu." Jawab Tandrie final

Reyna menghela nafas lega juga khawatir. Saudara lebih tua empat tahunnya ini sangat mengkhawatirkan keadaannya.

"Kak?"

"Hmm..?"

"Lakukan sesuatu untukku ya? Nana mohon. Untuk mengurangi rasa bersalah Nana, sekali lagi meninggalkan kak Tandrie." Tak lupa Reyna menangkupnya kedua tangan sebagai kesungguhan ia dalam memohon.

"Jangan lebay deh, kan cuma ke luar negeri. Kita masih bisa komunikasi lewat video call."

"OK deh. Tapi mau kan, kak?"

"Apa memangnya?"

"Menikah."

Deg. Kata ini sudah terkubur lama di dalam benak Tandrie. Adiknya tahu persis mengapa hal ini sulit bagi Tandrie. Kesepian ini, Tandrie yakin bisa mengatasinya. Yang Tandrie perlukan adalah meyakinkan keluarga adiknya, bahwa ia bisa mengatasi hal tersebut.

Tapi sial, kehadiran Albert membuat rencana-rencana yang Tandrie susun berantakan. Tandrie bukan robot yang bisa sepenuhnya mengabaikan getaran-getaran perasaaan terlarang.

Albert nyata ada di depannya. Dan sebagaimana yang Reyna katakan, jomblonya Tandrie membuka peluang besar kasih lama itu terjalin kembali. Hanya ada dua jalan, pergi atau menjalin kasih. Opsi pertama tentu sulit bagi Tandrie, serta merta pergi dan memutus study S3 yang baru saja mulai. Itu sangat tidak bertanggung jawab. Ia ingin membuat papa dan mamanya bangga, meski kini mereka telah tiada.

Opsi kedua, menjalin kasih baru bersama perempuan. Mari kita bold, italic dan underline kata perempuan. Ini satu lagi kesulitan bagi Tandrie. Bahkan mungkin yang terbesar. Tandrie itu masih belum straight, meski ia meyakini bahwa ia bukan gay. Namun sepenggal episode hidupnya pernah sebagai gay bottom membuatnya kepayahan menjadi straight.

Merenda Asa (3) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang