Enam - Dia Bernama Anin

53 9 0
                                    

Sepuluh ribu rupiah yang berharga – setidaknya untuk dirinya – kini pun ikut raib. Padahal itu harapan terakhirnya untuk menyambung hidup menuju tempat kerja.

Tak menyerah, sekali lagi selembar kertas berwarna ungu itu kembali dicari dari ujung ke ujung kamar berantakan berukuran 2 x 3 meter itu.

"Ugh..dimana ya?" nada kekhawatiran tidak bisa ia tutupi. Kalau tidak ketemu, bagaimana ia bisa sampai ke tempat kerja? Masak jalan kaki. Duh, ada sepuluh kilometer membentang dari kamar kostnya dan kantornya.

Ingin rasanya menangis, kalau saja ia punya uang lebih ia tidak akan semerana ini. Terduduk lemas ia mengecek ponsel. Seseorang mencoba menghubunginya dari tadi.

"Iya, waalaykumsalam." Jawabnya sebelum sempat mengetik pesan balasan, "Iya kak, sedang mencoba menuju kesana."

"Ada masalah?" tanya seseorang di seberang telepon.

"Ah..anu..tidak. Insha Allah sampai tepat waktu."

Duh. Dahinya menjadi tempat pelampiasan kekesalan kehilangan uang sepuluh ribu terakhir dan bisa-bisanya ia melupakan janji dengan seniornya. Melihat lagi pesan yang telah dikirimkan beberapa hari yang lalu perihal tempat janjian mereka.

Untung dekat. Dan jalan keluar terbaik adalah jalan kaki.

"Duh, uang sepuluh ribuku." Gerutunya nelangsa.

Jalan kaki sepanjang 300 meter seharusnya bukan hal yang menyusahkan. Hanya saja tambahan terik matahari sepanjang trotoar yang sama sekali tidak sejuk. Siapa sih yang menebang pohon sepanjang jalan? Membuat perjalanan jadi panas dan melelahkan.

Mengecek jam, ternyata ia sampai 10 menit lebih awal. Memilih kursi yang cukup jauh dari pintu masuk. Sedikit berharap angina akan segera berhembus dari pendigin ruangan yang berada dekat dengan mejanya.

Menyadari kerongkongannya kering, ingin sekali ia pesan minuman. Tapi ia ingat betul bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Harapan terakhirnya yang ia gantungkan pada selembar uang sepuluh ribunya pun raib. Anggunkan malu ia layangkan pada waiters dengan alasan masih menunggu teman.

"Assalamualaykum, sudah lama?" cepat ia tolehkan ke arah sumber sapaan. Tersenyum ia menjawab ramah.

"Waalaykumsalam. Tidak kok kak, baru sepuluh menitan."

Anindya Putri, lebih sering disapa Anin tak luput memperhatikan sosok lain yang ikutan masuk bersama seniornya, Reyna.

Detil kulit dan bentuk wajah tak luput dari perhatian Anin. Kayak mas-mas yang jadi bintang iklan serum wajah.

"Eh?" Anin merutuk pikirannya sendiri menilai orang didepannya. Bisa-bisanya pikirannya mengelana kemana-mana.

"Ada apa, An?"

"Enggak kok kak, cuma pemikiran ngaco aja." Ucap Anin malu-malu, "Oh ya kak, jadi gimana?"

"Tanya aja sama orangnya." Jawab Reyna dan menunjuk Tandrie dengan gesture tangan.

Eh?Mas-mas ini. Serius ini kakaknya.

OK, ini kesalahannya, batin Anin. Karena kemiskinan kuota yang ia derita, foto-foto yang kemarin dikirimkan seniornya tidak ia download sama sekali. Pun ia lupa bahwa kantornya menyediakan wifi gratis bagi karyawan. Dan rupa saudara seniornya ini diluar ekspektasi.

Anin mendadak kicep. Kenapa segugup ini mau berkenalan?. Aish..ini pasti efek kata-kata dijodohkan. Selama ini Anin termasuk orang yang percaya diri dalam berkenalan dengan orang asing.

"Kok malam diem-dieman?" tegur Reyna pada keduanya.

"Kak, pernah denger teori kalau dimana-dimana, namanya dikenalin itu pasti grogi?."

Merenda Asa (3) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang