3. Setangkai Mawar

602 20 6
                                    

"Gue butuh bantuan lo."

"Katanya, Nana suka mawar."

"Bantuin gue cari mawar asli."

"Gue mau pake itu buat PDKT sama dia."

Roman menoleh. "Alpi! Lo dengerin gue nggak sih?!" Roman berteriak kesal membuat Alpi terlonjak kaget.

"Lo apa-apaan sih! Kalo gue jantungan gimana?" Alpi merengut kesal.

"Dari tadi gue ngomong tapi lo nggak denger, emang lo lagi mikirin apa sih sob?"

"Lo waktu liatin Nana, perasaan lo gimana sih?"

"Yah gitu deh, waktu gue liatin Nana, walaupun dari jauh, jantung gue berdebar. Dan, kalo dia lagi natap gue, gue rasanya hilang akal. Gue jadi salah tingkah gitu. Pokoknya fokus gue cuma ada di dia."

Roman menerawang jauh, menatap langit malam. Wajahnya segar berseri-seri. Perasaannya begitu dalam, sepertinya.

"Nana tuh kayak bulan, mau sebanyak apapun bintang di sekitarnya. Dia selalu jadi inti di langit malam."

Alpi termangu. Matanya turut memandang langit. Malam ini purnama. Apakah si gadis senja juga menatap langit saat ini? Purnama yang sempurna.

"Eh, ngomong-ngomong, tumben banget lo nanya tentang itu, apa udah ada yang bisa memikat hati batu lo?" Ramon lagi-lagi memasang wajah tengil untuk menggodanya.

Alpi mengendikkan bahunya. Tangannya secepat kilat menampar pipi Ramon.

Apa yang terjadi?

"Ada nyamuk, liat nih! Nyamuknya langsung mati, gue hebat 'kan?"

Ramon tak bersuara, hanya meliriknya sekilas. Di tengah teras dengan cahaya remang-remang. Alpi tahu, Ramon sedang gundah gulana. Tatapannya menjelma malam, tak ada lagi binar di dalamnya.

"Ada apa sih Mon?"

Ramon menghela nafas, bahunya merosot. "Ada laki-laki lain yang lagi deketin Nana, dia bahkan lebih keren dari gue."

"Yah, cuma gara-gara itu doang? Bukannya lo lagi berjuang buat dia?"

"Iya, lo aja yang nggak dengerin gue tadi!"

"Yaudah, lo ulang deh, gue pasti denger."

Ngomong-ngomong,

Apakah si gadis senja itu juga menyukai mawar?

***

"Lo yakin mau ngambil mawar disini?"

Ramon mengangguk mantap. Matanya mengintip di celah pagar yang sangat lebar, bahkan kepala botaknya bisa lolos. Dengan was-was, ia memastikan bahwa tempat aman.

Ramon mengacungkan jempolnya tepat di hidung Alpi. "Aman bro, kita bisa langsung masuk." Ramon menyengir lebar hingga semua giginya hampir nampak.

Seperti rencana mereka semalam. Mereka memasuki panti asuhan melalui pagar belakang secara diam-diam disaat para penghuni sibuk dengan aktivitas rutin mereka. Sebenarnya ini rencana Ramon, bukan rencana mereka berdua.

Setelah ramon berhasil memangkas setangkai mawar. Akhirnya mereka bernafas lega. Dengan langkah diam-diam, mereka meninggalkan tempat itu.

Belum sempat mereka keluar dari tempat itu. Sebuah suara memerangkap mereka dalam ketegangan, kecanggungan, dan ketakutan.

"Kalian lagi ngapain?"

Suara itu begitu lembut dan halus. Hati Alpi bergetar. Ramon segera berlari sekencang mungkin. Harusnya Alpi juga ikut berlari. Namun tubuhnya berkhianat.

Ia menoleh, mencari asal muasal suara itu. Gadis itu menatapnya dari atas ke bawah. Dia menjadi salah tingkah.

"Mawar yang tadi di potong, kemana?"

"Dibawa sama orang tadi." Alpi mengucapkan kalimat itu susah payah, jantungnya terasa tidak lagi berada di posisi yang tepat.

"Dia itu teman kamu 'kan?" Gadis itu lagi-lagi bertanya.

Alpi mengangguk patuh. Matanya terus meneliti wajah gadis di hadapannya. Begitu menawan, bahkan wajah itu tak berekspresi.

"Kamu harus tanggung jawab, ngambil tanpa izin itu sama aja kamu nyuri." Gadis itu bersidekap, menahan kesal di wajahnya.

Alpi seakan menjadi orang bodoh. Ia lagi-lagi mengangguk patuh. Telinganya hanya menangkap kata 'tanggung jawab'.

"Iya, aku pasti tanggung jawab ke kamu," jawab Alpi mantap dengan tubuhnya yang ia tegapkan.

Gadis itu mengernyit. Wajah kesalnya berubah menjadi bingung. Alpi segera sadar dengan ucapannya barusan. Terkutuklah dia!

"Ah, maaf-maaf, maksudnya saya mau tanggung jawab kok, biarpun semua ini rencana teman saya."

Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Yasudah, ikut aku aja, ada banyak yang harus di kerjakan."

Gadis itu bertolak. Alpi mengikutinya dari belakang. Hari masih pagi, rasa dingin masih terasa. Sinar mentari membasuh tempat itu. Ia menatap gadis itu mulai menjauh.

Dia seperti,

Gadis senja.

***
TBC

Pendek yah?

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang