👣 pulang.

454 44 11
                                    

Saya masih ingat keadaan langit hari itu. Bukan karena langit terlihat begitu menakjubkan, melainkan karena sebaliknya.

Gumpalan awan cumolonimbus berkerumun, memberi warna kelabu pada angkasa. Kilat beberapa kali menyambar dan suara gemuruh sempat terdengar. Jika didasarkan pada ilmu yang diberikan Ibu Guru di kelas enam sekolah dasar, hujan pasti akan turun sebentar lagi.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi berjam-jam yang lalu. Tetapi saya masih setia menaruh atensi pada Junho, ketua organisasi intra sekolah. Saya memandangi Junho dengan tatapan penuh minat, berbeda dengan dua anggota inti lainnya, Chaeyeon dan Yohan, yang mulai sibuk dengan dunia mereka sendiri. Seolah-olah, saya ini masih mendengarkan keseluruhan celotehan Junho mengenai cara paling efektif untuk menyusutkan anggaran dana acara pentas seni yang nyaris menyentuh angka tiga puluh juta. Pada kenyataannya, saya sendiri sudah merasa muak dan jenuh. Timbul pula keinginan untuk segera pulang karena hari mulai beranjak malam.

Bukan, ketakutan saya yang sebenarnya bukan pada malam. Karena ini bukan kali pertama saya pulang ketika matahari sudah terbenam karena organisasi. Jabatan sekretaris yang saya emban mengharuskan saya untuk mengikuti seluruh rapat yang dipimpin oleh Junho. Bahkan ketika keesokan harinya ada ujian, saya tetap harus hadir untuk mencatat keputusan rapat.

Pulang malam sudah merupakan hal yang biasa bagi saya. Tetapi karena angkasa sedang menunjukkan ketidakramahannya pada makhluk bumi sekarang, saya jadi khawatir. Pasalnya, ojek online yang selalu saya andalkan ketika pulang malam pasti tidak akan beroperasi saat hujan.

Taksi online? Uh, tidak, terima kasih. Semenjak hampir dibawa ke luar kota oleh supir taksi online beberapa bulan yang lalu, saya jadi trauma naik taksi online tanpa Minju.

Mungkin saya akan lebih tenang kalau Junho itu tidak perhitungan, Chaeyeon tidak tinggal di perbatasan kota, dan pacar Yohan tidak terlalu posesif. Karena kalau kenyataannya begitu, saya tidak akan sungkan untuk meminta tumpangan kepada salah satu dari mereka.

Nasib hanya hidup berdua dengan saudara, ya, begini. Tidak ada yang bisa dijadikan tempat bergantung. Semuanya harus serba mandiri. Apalagi, saya merupakan anak sulung. Suka tidak suka, saya juga harus bertanggung jawab atas Minju.

"Menurut pendapat kamu, caraku bagaimana, Kim?"

Karena suku kata pertama dari namaku sama dengan milik Chaeyeon, maka Junho memanggil saya Kim dan Lee untuk Chaeyeon. Tetapi, panggilan ini hanya berlaku di ruang rapat. Selebihnya, beda lagi.

Ah, ya, selain perhitungan, kebiasaan mengeluarkan pertanyaan secara mendadak, merupakan hal-hal yang saya benci dari Junho. Entah di atas kesadarannya atau tidak, Junho memang begitu sejak hari pertama saya mengenalnya.

"Cuma aku aja nih yang ditanya?"

Saya tergelak, berusaha mencairkan suasana tegang yang datang setelah Junho melontarkan pertanyaan.

Biasanya, Chaeyeon akan ikut tertawa bersama saya. Gadis polos itu memang mudah sekali tertawa. Tapi kali ini, Chaeyeon hanya diam dan menatap saya dalam-dalam. Kondisi Yohan juga hampir sama dengan Chaeyeon. Bedanya, Yohan masih tersenyum tipis. Oke, sepertinya kelelahan dapat membuat orang berubah.

"Menurut aku sih sudah lumayan, Paketu," Sengaja saya memakai panggilan 'Paketu' agar Junho tidak tegang-tegang amat, "cuma aku rasa masih perlu dirapatkan sama anggota lain. Jangan cuma anggota inti saja."

Junho mengangguk, terlihat puas dengan jawaban saya. "Aku setuju dengan Kim. Lee sama Yohan gimana?"

Secara serempak, Chaeyeon dan Yohan menganggukkan kepala. Rona bahagia terpancar dari wajah keduanya. Cih, dasar. Seharusnya, mereka berterima kasih pada saya karena menyelamatkan mereka dari zona kebosanan ini!

kita : yunseong.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang