👣 selamat.

173 27 6
                                    

Yunseong yang belakangan ini saya ketahui merupakan anak dari seorang politisi negara yang cukup tersohor dari Cha Junho (ya, memangnya siapa lagi informan yang saya percaya 'tuk mengulik Yunseong lebih dalam?) merupakan pribadi yang aneh.

Saya katakan demikian sebab ia ternyata memegang french horn di marching band. Di depan saya dia bersikap kikuk seolah sudah lama tidak terjamah oleh sosialisasi antar manusia, namun menurut Junho, ia merupakan pribadi yang asyik dan memiliki selera humor yang baik.

Yunseong begitu tak tertebak, simpul saya, dan simpulan itu terbuktikan sendiri dengan kehadiran sang adam di depan ruang OSIS beberapa waktu yang lalu dengan kemeja sekolah yang telah dikeluarkan. Awalnya, saya mengira bahwa ia memiliki janji dengan Junhoㅡentah janji macam apa. Maka dari itu, saya langsung memalingkan wajah ketika Yunseong sibuk membalas sapaan adik kelas; pura-pura tak menyadari eksistensinya lantaran masih malu dengan kejadian di pagi hari yang tidak berjalan seperti yang saya bayangkan.

Namun yang terjadi beberapa saat kemudian adalah Yunseong mengatakan pada Junho bahwa saya 'lah yang tengah ia cari sebab kami hendak pulang bersama. Hal ini terpaksa membuat saya berbohong kepada seluruh pasang mata yang masih menonton untuk menghindari pertanyaan penuh selidik yang lainnya. Beruntung, kami bebas dari pertanyaan lain bahkan hingga motor kepunyaan Yunseong melaju meninggalkan pekarangan sekolah.

Kalau muncul pertanyaan apa yang kami lakukan setelah meninggalkan sekolah, maka saya dengan tegas menjawab: tidak ada. Kami tidak berkeliling kota terlebih dahulu atau mampir ke kedai kopi guna bercengkrama seperti yang dilakukan tokoh utama dari cerita-cerita romansa. Bahkan Yunseong tidak mengajak saya berbicara selama perjalanan!

Padahal, tadi saya sempat dipenuhi keyakinan bahwa Yunseong hendak mengatakan sesuatu, sehingga akhirnya rela menunggu saya sampai menyelesaikan rapat untuk kemudian pulang bersama. Tetapi ternyata, saya salah karena hingga gerbang yang menjadi pembatas antara rumah saya dengan jalanan di depan tertutup, Yunseong tetap bungkam.

"Hati-hati di jalan, Yunseong. Terima kasih."

Kalimat tersebut saya ucapkan dengan nada tak riang sama sekali. Sedikit meluruskan sebelum ada yang salah sangka, saya tidak marah maupun kesal. Saya hanya bingung ... sebenarnya, apa yang ada di pikiran Yunseong, sih? Ada yang sekiranya mengetahui isi otak penyabet medali di kejuaraan marching band ini?

***

Rumah menjadi pertemuan terakhir antara saya dengan Yunseong karena di hari-hari setelahnya, saya tak lagi melihat batang hidungnya. Ia tak lagi terlihat bergabung bermain di lapangan ketika waktu istirahat tiba, juga bercengkrama dengan Pak Ketua di koridor kala waktu pulang telah datang.

Belakangan kuketahui, pria dengan nama keluarga Hwang itu kembali mengikuti perlombaan. Tak tanggung-tanggung, negara yang menjadi tujuannya adalah Denmark. Informasi ini tentu saja kuketahui dari Cha Junho yang entah baru saja kemasukan jin darimana, langsung menyerocos tentang Yunseong.

"Sumpah, aku enggak nanya, Jun." seloroh saya ketus tanpa mengalihkan pandang dari notulen yang tengah saya kerjakan.


Dengan bantuan ekor mata, saya dapat gambaran bahwa Junho kini tengah tersenyum usil dengan tangan yang terlipat di depan dada. "Sans, Chae. Aku cuma cerita aja, kok. Enggak perlu sensi gitu."

"Apa kamu sensinya gara-gara udah kangen sama Yunseong?"

Tanpa ba bi bu lagi, jitakan segera mendarat di puncak kepala Junho. Gerakan saya yang terlampau cepat membuat Junho tak sanggup mengelak.

"Kangen apaan, sih! Orang ngobrol enggak pernah, ketemu juga jarang!" sahut saya serius sebelum kembali memusatkan fokus dan perhatian kepada tugas yang tengah saya kerjakan.

kita : yunseong.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang