Sejujurnya, gue enggak kenal sama cewek yang ada di boncengan gue sekarang. Bukannya mau sombong apa gimana, nih, tapi kesibukan gue di kejuaran marching band dunia berakibat gue enggak kenal sama hampir separuh anak di sekolah ini. Padahal, bulan depan gue udah kelas tiga yang berarti gue hanya punya waktu satu tahun untuk menghabiskan waktu sama teman-teman di sekolah ini.
Karena gue orangnya pemalu dan ngaco banget dalam membuat percakapam, gue memutuskan untuk diam. Asli, takut salah ngomong gue. Anak ini dari mukanya keliatan judes parah soalnya. Terakhir gue berurusan sama cewek bermuka judes, cewek satu kelas musuhin gue. Padahal gue enggak salah apa-apa. Sumpah, deh.
Tapi jujur aja, gue sebenernya berharap cewek di boncengan gue ini membuka percakapan. Karena menurut observasi singkat gue tadi di parkiran, anak ini cukup rame dan keliatannya asyik untuk diajak ngobrol.
Tampangnya juga lumayan, lagi. Bisalah besok-besok dibawa ke kawinan saudara biar gue enggak diomongin jombla jomblo mulu sama keluarga.
Eits, terlalu jauh mikirmu, Yunseong. Ngobrol aja enggak berani mulai! Dasar gue.
Sayangnya, kenyataan tidak berjalan sesuai dengan harapan. Gadis itu tetap bungkam di sepanjang perjalanan. Hanya satu kali ia mengeluarkan suara halusnya, itu juga untuk menanggapi pertanyaan gue tentang lokasi pasti dari rumahnya.
Eh, ternyata genap dua kali dia mengeluarkan suara. Kali kedua, cewek ini mengucapkan kata terima kasih dan salam perpisahan sebelum meninggalkan gue beserta motor sendirian.
Ada sedikit rasa kecewa sebab tak sempat menanyakan namanya. Namun, gue punya kepercayaan, bahwa cepat atau lambat kami akan bertemu kembali. Entah kapan itu.
***
Kepercayaan yang gue ramalkan di depan rumah cewek kemarin ternyata tidak meleset sedikit pun. Hari ini, tepat beberapa menit setelah gue menyimpan tas di loker meja dan bersiap meletakkan kepala di atas meja, siluet cewek kemarin lewat di depan kelas. Mengintip dari balik pintu, sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas gue setelah dipersilakan oleh Chaeyeon yang baru memulai tugas piketnya.
Dia mau ngapain, ya?
Pertanyaan itu sekilas melintas di pikiran. Gue sama sekali enggak menyangka kalau jawaban dari pertanyaan ini adalah gue sendiri.
Iya, cewek yang kemarin mendatangi meja gue.
Enggak, gue enggak salah.
"Hai hai! Aku yang kemarin nebeng sama kamu," ucapnya dengan pertanyaan yang mengekor di belakangnya, "masih inget 'kan?"
Mau tak mau gue mengangguk, "Inget, dong. Kenapa? Mau nebeng lagi ntar?"
Tanpa gue sangka, cewek ini dengan polosnya balik bertanya, "Lah, emang boleh?" Mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Entah apa alasannya. Mungkin, ia bingung.
Kalau boleh jujur ... gue sebenarnya tadi bercanda aja nanya begitu. Hanya ingin iseng karena tidak menyangka sang puan akan menganggapnya serius. Makanya, alih-alih menjawab langsung, gue berusaha mengulur pemberian jawaban dengan melontarkan pertanyaan lain.
"Ada perlu apa kesini?" Kalau pertanyaan gue terdengar ketus, mohon maaf. Gue sama sekali enggak bermaksud demikian. Gue cuma bingung gimana caranya membungkus sebuah kalimat tanya tanpa menyakiti hati seorang gadis.
Cewekㅡyang hingga kini belum gue ketahui namanya hingga kiniㅡnampak mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik tubuhnya. Gue belum mengetahui apa isi dari bungkusan tersebut hingga ia mengeluarkan isinya dan meletakkan benda tersebut di atas meja.
"Ini ... jaket kamu kemarin. Aku lupa mengembalikannya kemarin, jadi sempat aku cuci dulu."
Perhatian gue lantas terpusat ke jaket itu. Begitu jaket tersebut gue angkat sedikit, aroma stroberi menguar ke sekitar dan sedikit menggelitik indera penciuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita : yunseong.
Short Storyaku dan kamu selalu bersama. namun kenapa kata "kita" sukar 'tuk terucap? ✾. wandearluts ⋆ alternate universe ⋆ may contain harsh words cover credit : buzzfeedau @ tumblr.