Alaska melemparkan dirinya ke lantai rooftop sekolahnya, lalu mengacak-ngacak rambutnya, perasaannya kini sangat kacau, memori yang sudah ia kubur lebih dari 2 tahun secara susah payah, kini terasa sia-sia. Memorinya tentang kejadian buruk yang menimpa sahabatnya juga dirinya beberapa tahun lalu kini benar-benar berputar di kepala Alaska seperti kaset yang sedang diputar.
Alaska merasa marah, kesal, dendam, sedih dan juga rindu. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika bertemu Alfa setelah 2 tahun berpisah.
Alaska mengarahkan pandangannya kearah jalan raya, dengan pikirannya yang dipenuhi oleh kejadian buruk yang ia harap tidak pernah terjadi.
Tanpa disadari, air mata Alaska mengalir begitu saja, Alaska bukan tipe orang yang mudah menangis, tapi jika itu sudah mengenai hal-hal sensitif tentang hidupnya, ia tidak bisa bohong bahwa ia sangat lemah.
Sega mendaratkan tubuhnya tepat disebalah Alaska yang sedang melamunkan hal yang Sega sendiri tidak tahu, Sega mendudukan tubuhnya tepat disebelah Alaska yang terduduk di lantai aspal rooftop sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Sebenernya lo ada masalah apasih sama cowok tadi?" Sega menoleh kearah Alaska sambil menatap temannya itu dengan bingung.
Sedangkan Alaska hanya diam lalu menghapus air matanya dengan lekukan tangannya.
"Gue gasuka kalo lo udah kehilangan kontrol dari diri lo sendiri." Sega menimpali, mengetahui Alaska yang masih kesal kepadanya karena hal tadi.
Alaska menghembuskan nafasnya lalu berganti posisi menjadi duduk sila dan menopang dagunya dengan tangannya.
"Lo tau sendiri gue paling nggak suka liat cowok mainannya fisik, padahal dia masih bisa ngatasin masalahnya dengan baik-baik, banci." Sega mendecih lalu melirik kearah Alaska yang terpancing oleh Sega.
"Nggak semua hal yang orang lakuin harus lo suka, mereka nggak peduli lo suka apa, mereka pasti melakukan sesuatu ada alesannya, mereka melakukan hal yang mereka suka, bukan melakukan hal yang lo suka." Alaska bangkit dari tempatnya lalu ia berjalan menuju pinggirang rooftop yang menampilkan pemandangan lebih jelas.
Sebelum Sega menimpalinya dengan sebuah kalimat Alaska kembali melanjutkan kalimatnya.
"Tapi, gue juga tau niat lo disitu baik, mungkin emang gue yang nggak bisa ngontrol emosi gue sendiri, gue belum bisa mengurus hidup gue dengan baik, nggak kayak lo, yang bisa mengatasi masalah dengan kepala dingin, bisa bersikap dewasa, dan bisa hidup mandiri. I sometimes wish i was you. Lo itu gapunya ketergantungan dalam hidup lo." Alaska tidak menolehkan kepalanya, ia tetap menatap pemandangan kota Jakarta dengan tenang.
"I actually wasn't that grateful about myself, lo ngomong seolah-olah gue mempunyai kehidupan dan kepribadian yang sempurna, but poor me im not, gue mau dapet kasih sayang orang tua, gue mau tinggal sama orang tua dan seorang saudara, but the reality is, everyone minding their own businesses. And in fact, i dont have any brother, or even sister. Jadi, semua orang itu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tinggal kita aja yang belajar untuk jadi diri sendiri tapi juga berusaha menjadi diri sendiri yang lebih baik." Sega menatap punggung Alaska dari lantai rooftop yang kira-kira berjarak 3 meter dari pinggiran rooftop sambil tersenyum kearah Alaska, walau ia tahu Alaska tidak bisa melihatnya.
"Look how poetic you are." Alaska menoleh kearah Sega lalu tersenyum tipis, ia selalu bersyukur mempunyai sahabat seperti Sega, yang selalu membantunya dalam waktu paling sulit dalam hidupnya. Sega selalu berhasil menjadikan Alaska pribadi yang baik dan mengerti sebuah titik-titik tersulit dalam kehidupan masa mudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alaska
Teen Fiction"Gue tau kok, gue belom pantes jadi siapa-siapa di hidup lo, gue nggak bisa membantu meringankan masalah-masalah yang ada dihidup lo, bahkan hidup gue sendiri aja belom bisa gue urus dengan benar. Tapi gue janji bisa bantu lo buat lupain hal-hal yan...