Bab 1

2.1K 202 5
                                    

"Hoi!"

Tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel di tangannya yang terpasang pada gamevice, Liam sudah tahu suara milik siapa yang menegurnya itu. "Apa?" ketusnya.

Pemilik suara itu berdiri di hadapannya. "Dilarang main game di asrama. Simpan atau gue sita gamevice lo itu."

Ujung bibir Liam sedikit terangkat, membentuk seringaian remeh. "Mau lo sita, lo sembunyiin atau lo bakar sekalipun, gue bisa beli lagi, Don." Liam menyelesaikan permainan game yang sudah dia mainkan sejak setengah jam lalu. Liam tersenyum malas pada Doni, ketua osis yang disegani sekaligus sahabat kecilnya sambil menyerahkan ponselnya. "Ini, ambil kalau lo mau."

Doni mendesis geram. "Lo nggak bisa ya, sekali aja patuh sama peraturan. Gue capek lihat nama lo terus di buku hitam."

Liam menggedikkan bahunya. "Lo tanya aja ke Bu sonia, kenapa dia cinta banget sama gue sampai setiap hari gak pernah lupa nulis nama gue di bukunya."

"Astaga, Liam!"

Hanya Liam yang bisa membuat kesabaran Doni habis. Dia selalu bisa bertindak tegas pada semua murid tapi tidak dengan Liam. Sejak kecil selalu bersama dan sudah seperti saudara membuatnya selalu ingin berusaha melindungi Liam dari hukuman. "Kemarin Tante udah ngamuk-ngamuk gitu, lo tetap aja belum jera, ya. Lo ingat Tante kasih ancaman apa buat lo? Lo bakalan di kirim ke Africa dan mengabdi di sana kalau Tante sampai di panggil ke Sekolah lagi!"

Liam mendesah, menatap Doni malas. "Gue tahu, Don. Makanya gue serahin hidup gue ke elo." Liam menyunggingkan senyuman palsunya.

Doni mendengus keras. "Gak sudi."

Liam berdecih, "Sudi ataupun nggak, lo tetap akan bantu gue. Lagian, sekolah pasti keberatan lah kalau sampai gue dipindahin kesana. Kapan lagi ada murid yang bisa mengharumkan sekolah membosankan ini selain gue." Liam berdiri dari bangku panjang yang ada di lorong kamar asrama, dia memutar tubuhnya, menghadap kesebuah jendela kaca, memerhatikan penampilannya yang sangat rapi. Seragam yang mulus tanpa kerutan, dan juga dasi yang terpasang sempurna. Rambutnya yang mulai sedikit panjang juga tersisir dengan rapi. "Udah ya, gue ke kelas dulu. Sampai jumpa lagi." Liam melambai singkat pada Doni yang masih menggerutu.

"Ke kelas kepala lo! Mana mungkin lo mau masuk di kelas sejarah. Sampai gue nemuin nama lo lagi dibuku hitam, gue aduin ke tante, lo!"

"Berisik!"

"Lo yang berisik!"

***

"Gue punya informasi penting, guys!" seruan Angga, laki-laki berambut agak panjang dan bertubuh tinggi itu membuat teman-temannya yang lain berkumpul mengerubunginya kecuali Liam yang tetap sibuk bermain game.

"Apaan?" desak Bayu. Bola matanya yang berwarna sedikit kecoklatan itu menelisik angga.

Coky menatap Angga berbinar. "Lo udah tahu caranya ngintip anak perempuan yang lagi mandi di asrama sebelah?"

Dua pukulan mendarat di kepala Coky.

Liam tersenyum geli mendengar dua pukulan dan suara aduhan Coky. Ketiga sahabatnya yang sama-sama suka berbuat onar itu memang selalu mempunyai beribu ide menyenangkan untuk mengusir kejenuhan di asrama. Angga yang jenius dalam hal mencari ide gila, Bayu yang sangat jail dan Coky yang mesum. ABC friend's kalau kata Liam menyebut ketiga temannya.

"Pantesan sabun di kamar mandi gue cepat banget habisnya." Liam menggumam pelan.

"Gue nggak pernah gituan di kamar mandi lo, ya. Lo aja pelit banget minjemin kamar mandi, Anjing!" Coky memprotes tidak terima. Liam hanya terkekeh pelan.

Memang benar, dia jarang sekali membiarkan teman-temannya itu masuk ke dalam kamarnya. Bagi Liam kamar adalah privasi dan dia tidak sudi berbagi. Lihat saja, setiap kamar dihuni oleh dua atau tiga murid, tapi Liam hanya menempati kamarnya seorang diri. Tentu saja dengan rajukan dan ancaman yang dia layangkan pada kedua orangtuanya.

LiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang