Kemauan yang kuat mengalahkan keadaan apapun
______________«∞ΩÒÔÓΩ∞»_______________
Suatu pagi di hari minggu, bersama ibuku, aku berada disebuah ruangan sempit. Bangunan ini tepat berada disisi kebun bambu yang menyeruak dan saling berdesakan. Aku duduk di pangkuan ibuku dan kami menghadap beberapa meja berbentuk empat sisi. Meja ini sudah keropos. Diatas permukaannya tergeletak satu kotak kapur tulis, jurnal kehadiran guru, dan juga penggaris kayu yang disusun rapih diatas taplak meja murahan. Duduk disalahsatu bangkunya seorang wanita limapuluh tahun bermata monolis. Kacamata besarnya pura-pura tak melihat kami. Beliau adalah Bu Marfuah, Kepala sekolah ini. Di meja berikutnya seorang guru lelaki dan perempuan sedang menulis-nulis sesuatu diatas kertas. Sesekali keduanya melempar senyum kearah kami, dan ibuku menyambutnya dengan simpul senyum sepuluh senti.Akan tetapi dibalik senyumannya, ibuku ternyata merasa gusar. Sesekali beliau mendekap perutku lalu ia memancangkan pandangannya jauh kesana, diantara kelas-kelas yang kotor berdempetan. Duduk diterasnya empat murid yang sudah aku kenal semuanya. Misalnya Boih yang duduk disamping Lee, Elang yang sedang bermain sapu lidi, Munisa yang kelihatan murung, serta seorang pria kecil berbadan hitam, tubuhnya kekar dan nampak tengah bergelantungan diatas pintu, namanya Badar, anak paling nakal di dusun kami. Mereka berusia tujuh tahun dan telah didaftarkan sekolah hari ini.
Lalu di depan salahsatu meja tadi Bu Mar kembali memandangi kami. Akan tetapi tatapan matanya adalah pandangan yang perih. Tak mudah baginya menerima aku yang masih lima tahun. Dan ibuku maju beberapa langkah.
"Ibu guru, dapatkah anak saya masuk tahun ini?", ibuku bertanya sekali dengan wajah cemas.
Bu Mar menggeleng dan nampak riak wajah Bu Mar begitu berat. Wajahnya bak bunga edelweis layu di musim kemarau. Beliau menatap ke gambar Aksara Lampung yang ditempel miring disamping lemari, menatap sedikit ibuku, kemudian ia pura-pura tak melihatnya lagi.
Betapa berat permintaan ibuku.
Aku yang terkunci dalam dekapan ibuku tiba-tiba merasa kasihan. Meski siang ini begitu panas tapi beliau pucat dingin karena beliau menyimpan harap yang berlebihan. Bagi orangtua sepertinya ditolak sekolah berarti menyerahkan nasibku ke tengah kebun. Mempekerjakan anaknya sebagai tukang sadap karet seperti dirinya adalah pilihan masuk akal. Sebagai orang melarat, setiap hari orangtuaku bertarung dengan penghasilan kecil dan kebutuhan yang melimpah ruah.
Tahun ini ibuku ngotot menyekolahkanku karena semua temanku telah didaftarkan. Sebaliknya, tahun depan tidak ada pendaftaran karena besar kemungkinan tersisa satu murid yaitu aku. Selebihnya, sebagai orangtua yang beranak ramai, tigapuluh tahun tidak pernah ganti kerja, sulit baginya mewujudkan cita-citanya melihat aku berpendidikan tinggi. Beliau yang hanya tamatan Sekolah Agama Kampung menyimpan harap, kalaulah kehidupan keluarganya bisa diobati melalui jalur Pendidikan.
Agaknya bukan ibuku saja yang bingung melainkan para guru yang ada didalam ruangan ini. Mereka menanggung beban perasaan yang sama. Tapi beban para guru ini justru berlipat ganda. Aku tahu tak mudah bagi mereka menerima seorang anak dibawah umur sedangkan banyak dari murid sekolah ini putus belajar karena desakan ekonomi. Umumnya nasib mereka berakhir sebagai buruh kasar. Adapun SD Rimba Merun merupakan sekolah miskin yang ada di pedalaman Lampung. Institusi kecil ini menghadapi masalah klasik setiap tahunnya: putus sekolah karena pendidikan dianggap tidak penting.
Bu Mar menyeka dahinya yang berkeringat dingin. Beliau mencabut selembar kertas daur ulang dari lacinya yang bertuliskan 'PEMERINTAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, DINAS PENDIDIKAN NASIONAL', dan setiap kali kertas itu dibaca beliau tercenung memandangiku, seperti sedang meraba-raba nasibku karena kertas tadi merupakan daftar murid yang telah putus sekolah setiap tahunnya.
Demi membacanya sekali tiba-tiba matanya memerah dan tak lama air menggenangi kelopak matanya. Beliau mendongak keatas lalu membuang pandangannya ke belakang kantor, tepat dibelakang pohon bambu dimana berjajar ratusan pohon Kelapa Sawit. Memandanginya beliau semakin disergap pilu. Barangkali rasa getir yang mengalir dalam dadanya berasal dari PT. Kelapa Sawit selaku pemilik pohon-pohon itu, Korporasi terbesar di Pulau Sumatera yang kerap merampas para muridnya.
Perasaanya sulit diluapkan, hidup dilingkungan para orangtua yang menganggap Pendidikan sebatas batu loncatan demi bisa membaca dan menghitung gaji pabrik. Mayoritas Penduduk Rimba Merun dihuni komunitas yang tak percaya jika sekolah mampu mengubah nasib manusia, itu karena sekolah memiliki reputasi mengerikan. Sekolah berarti membayar SPP bulanan juga menyediakan buku baru setiap enam bulan. Bagi orangtua kami yang pas-pasan sekolah adalah beban ekonomi yang maha dahsyat.
Aku palingkan pandanganku keluar kantor. Kini aku mengurai lima pot bunga adenium: warnanya ungu kemerah-merahan, daunnya menari-nari, sungguh meriah.
Bu Nur-- perempuan berbaju abu-abu yang duduk disamping Bu Mar--bangkit dan meraih tanganku keluar. Ia mendudukkanku pada bangku diteras sekolah hingga aku dapat melihat seekor biawak berlari diatas lantainya yang basah dan kotor. Sekolah ini hanya berjarak duapuluh meter dari bibir sungai. Jika hujan turun berlarut-larut airnya naik ke daratan dan sekolah ini ikut dimandikan.
Bu Nur duduk sambil membesarkan hatiku, matanya sedikit sembab namun ia coba menenenangkan dirinya sendiri. Bagaimana tidak, puluhan tahun sekolah kesulitan mendapatkan murid dan hari ini ia terpaksa menolak murid yang dinanti-nantikannya. Kenyataan yang begitu perih.
Pukul duabelas tepat. Suasana hening tapi ibuku masih berharap. Tapi kini Bu Mar berdiri. Beliau merapihkan kertas-kertas diatas mejanya.
Waktu pendaftaran telah berakhir!
Ibuku yang semula duduk kini pelan-pelan bangkit tanpa selera. Ia menarik nafas panjang dan bersiap menyalami Bu Mar, baginya perjuangannya cukup sampai disini. Tapi disaat beliau begitu pasrah tiba-tiba Bu Mar berubah fikiran.
"Sebentar..." Begitu bilangnya.
Kami tersontak dan ibuku yang sudah kalah seketika bertenaga seperti di suntik energi. Bu Mar membuat sebuah isyarat tangan kepada kepada guru lainnya untuk memulai rapat. Sebuah rapat darurat untuk menentukan nasibku.
Kami keluar dan duduk di bangku di teras kantor. Sementara itu Pintu kantor ditutup rapat dan kami menunggu sambil menatap ganggang pintunya yang sudah dol, daunnya terkelupas karena sering terkena hujan. Kini tangan kanan ibuku erat merangkul bahuku dan tangan kirinya menepuk-nepuk lirih tempurung lututnya. Beliau mendekapku seperti sedang terjangkit demam.
Sepuluh menit kemudian pintu terbuka tapi kini Bu Nur mengambil kendali. Beliau memanggil kami untuk masuk karena nampaknya Bu Mar tak kuasa menyampaikannya. Saat kami menghadapnya aku lihat beliau terdiam sepi. Matanya terpejam tapi sesekali ia mencuri pandang kearah Bu Nur. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Tatapannya sedalam sumur.
Disisi lain bagi Bu Nur menyampaikan berita semacam ini merupakan pengalaman baru dalam hidupnya. Lebih mudah baginya menolak dengan alasan formalitas yang disyaratkan oleh Negara. Ada perasaan gugup dan itu dapat aku baca dari wajahnya yang sedikit pucat. Tapi apa boleh buat, keputusan harus disampaikan dengan tempo sesingkat-singkatnya.
Dengan gaya layaknya sang Proklamator Ayu beliau menarik nafas lalu melepaskan beban itu.
"Anak ibu bisa sekolah, tapi murid tidak resmi!" Katanya.
Ibuku tersentak dan seketika itu beliau langsung memeluk tubuh Bu Nur. Air matanya mengalir seperti botol kerinduan yang pecah. Titik Air matanya mengikis bedak Kely diwajahnya sehingga sebagian jatuh ke bajunya. Bu Nur menepuk-nepuk pundaknya. Matanya ikut menggenang menyaksikan ibuku yang seperti sedang merayakan kemerdekaan.
"Mashaallah....Mashallah!" Begitu dengungnya seperti laungan kemanangan.
Kalau tak malu ingin rasanya aku ikut melompat. Tak jauh dariku Bu Mar berlinangan air mata namun kali ini beliau mengalirkan air yang haru dan juga bening. Wajahnya yang kering mendadak basah, teduh umpama daun Trembesi. Dihari itu aku bisa merasakan detak jantungnya melompat serta batinnya tersiksa demi membuat keputusan besar terhadap anak kecil, yaitu aku. Di siang itu baginya dunia berhenti sejenak, beliau kehabisan kata-kata untuk menjelaskan bahwa disini, di tengah hutan yang lebat, masih ada orangtua yang peduli pendidikan. Tatapan matanya seperti tidak melihat seorang perempuan empatpuluh tahun yang melarat, tapi seorang Nelson Mandela dari Afrika.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIMBA MERUN
RandomRimba Merun: tempat dimana demonstrasi kecil dari kehidupan ribuan komunitas melarat yang ada di Nusantara ditampilkan. Disini kebodohan merajalela. Sekolah dianggap tidak penting sama sekali. Penduduk Rimba Merun hidup pada sebuah enklave, yaitu ba...