Kau selalu tau bahwa aku adalah pihak yang mendominasi disetiap percakapan kita. Kau hanya duduk manis sebagai pendengar yang baik, hanya sesekali menyela jika aku mulai bertingkah menyebalkan dan kekanakan.
Kita telah berada disatu jalan untuk waktu yang cukup lama. Bergandengan kita seolah siap menghadapi dunia. Tidak, nyatanya kita tak sekuat itu. Aku menggenggam tanganmu erat, memelukmu terlalu rapat, hingga kau inginkan ruang, "aku bosan denganmu.", keluhmu suatu hari dan aku hanya memberi tanggapan mengapa.
Dari sekian banyak jawaban di semesta ini, kau memilih cara paling menyakitkan untuk melepasku.
Mungkin kau berfikir aku menangis setelahnya, namun kau salah besar. Aku tak lagi menangis seperti di pertengkaran-pertengkaran kita sebelumnya. Aku hanya mencoba berusaha menjadi pendengar yang baik untukmu pula. Maka aku beri kau kebebasan mendominasi percakapan perpisahan ini.
Kau mengucapkan selamat tinggal dengan angkuhnya dan mengakhiri dengan permintaan maaf, seolah itu sudah cukup untuk membuatku merasa baik-baik saja. Tanpa kata pamit yang lebih sopan, kau balikkan badan. Melangkah pergi tinggalkan bayangan.
Tidak, aku tak membenci mu setelah ini. Kau berhak melakukan apapun yang kau mau, sama seperti apa yang telah aku lakukan padamu dulu. Aku memanggil namamu semauku, aku menggandeng tanganmu semauku, aku memelukmu semauku, aku menciummu semauku, maka kini saatnya kaulah yang melakukan apa maumu.
Maaf tak sempat memberimu kasih sayang yang lebih banyak. Semoga kelak kau akan temukan yang lebih baik, yang tak egois sepertiku.
Oh ya, haruskah aku melambaikan tangan padamu sebagai tanda perpisahan?
