Aku memandangmu dari jarak 20 meter. Menatap wajah pucatmu yang tak bercahaya seperti biasanya. Ah, kau baru saja bangun dari koma satu jam lalu, mengapa sekarang kau tertidur lagi? Dokter berlalu lalang, ribut di dalam ruang putih berbau obat yang sudah kau tempati selama beberapa hari. Aku tak terlalu tau, apa saja yang dokter pasang ditubuhmu, kepalamu, bahkan mulutmu untuk membuatmu tetap bernafas.
Magrib itu, suara kardiograf bersahut-sahutan dengan suara adzan. Garis lurusnya membuat air mataku mengalir tanpa izin, dunia berasa runtuh dibawah kakiku saat itu juga. Tanganmu terkulai disamping ranjang, sementara dokter melepas alat-alat yang melekat pada dirimu dan menarik kain putih menutup keseluruhan wajahmu. Aku hancur-sehancurnya di magrib itu, asal kau tau.
Sepanjang malam aku masih tak habis fikir, rasanya ini seperti mimpi burukku. Kemudian ketika hari beranjak siang rasanya aku dipaksa bangun dan menerima kenyataan bahwa tubuh yang memelukku erat disaat aku berulang tahun sudah dipeluk erat dengan tanah dan batu nisan.
Aku mengikhlaskanmu pada saat taburan bunga terakhir dariku. Hanya saja melupakan cinta pertama tak semudah yang kau kira. Aku selalu mencintaimu. Selamanya.
Dariku.
Untukmu, yang telah satu dekade meninggalkanku.