Telapak kaki berbalut high heels setinggi 5cm miliknya, melangkah perlahan diiringi dua bocah perempuan berusia 7 tahun. Mereka mengekornya, seperti barisan itik yang selalu membuntuti lenggokkan bokong induknya.
Kiri, kanan... Kiri, kanan...
Decak kagum beberapa kali terdengar dari dua arah. Seperti ketika ia masih berlenggak di hadapan puluhan pasang mata, memamerkan keindahan busana hasil karya desainer ternama. Mereka memujinya, memuja kecantikannya, tapi juga menyindir keserakahannya yang memonopoli dua lelaki most wanted.
Ch. Tidakkah mereka paham dari raut wajah datar gadis itu? Keberatan yang terabaikan, segala argumentasinya dianggap sebagai sapuan angin. Ialah korban sesungguhnya disini.
"Hiks... Putriku menikah... Hiks... Dia sebentar lagi menjadi istri dua laki-laki... Hiks... Aku... Hiks... Tidak ikhlas~... Hiks..."
"Jangan begitu Hikari... Hiks... Aku juga sebenarnya tidak rela Naru-ku menikah secepat ini... Tapi... Tapi... Hiks..."
"Sasuuu... Sasuuu... Sasu kesayangan bundaaa... Hiks..."
Isak tangis mengiringi langkah si gadis menuju altar. Beberapa kata umpatan nyaris terucap mendengar rengekan tiga wanita paruh baya yang berdiri di kursi terdepan. Menunduk, ia saat ini lebih menyukai ubin polos berwarna krem yang dipijaknya.
"Angkat wajahmu, Hinata. Busungkan dada, dan tunjukkan kesempurnaan yang dimiliki putri Hiashi."
Uh, oh, sepertinya dia melupakan sang ayah yang berjalan beriringan disisinya. Wajar dimaklumi mengingat afeksi-nya sedari tadi mengelana pada dua lelaki di depan altar sana, dan ibu beserta mertuanya yang sedang menangis histeris.
"Apa pernikahan ini tidak bisa dibatalkan, Ayah?" Tanpa mengangkat pandangan, dirinya bertanya sambil tetap menatap lantai. Menimbang, apa perlu lantai krem itu ia ubah warnanya menjadi merah menggunakan darah, darah kedua calon suami tampannya.
"Apa maksudmu, Hon?"
"Eh?"
Hinata tersentak, lantas mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk. Rasa terkejut langsung saja menyergap. Situasi yang berbeda ini sedikit mengagetkan. Tidak ada dekorasi serba putih, para tamu undangan, pendeta, dan orang tuanya. Yang ia lihat saat ini hanya kamar yang didominasi warna biru, tebaran kelopak mawar di atas lantai marmer, beserta ranjang king size berhias kelambu merah muda. Ia menoleh, mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu tergagap lantaran terkesiap.
"Ap-ap-ap..."
"Keh... Kau menggemaskan, Babe."
Kekehan geli terdengar dari arah depan. Dua lelaki berdiri polos tanpa sehelai benangpun. Raven
berkacak pinggang, sedang si blonde melipat kedua tangannya di depan dada. Mereka masih saja terkekeh, mengabaikan sesuatu diarea selangkangan terpampang, meliuk seirama gerak tubuh sang empunya. Dan Hinata semakin horor lagi, saat mendapati tubuhnya yang hanya berbalut lingeria tipis berwarna hitam."Apa yang kalian lakukan pada gaun indahku?" Hinata menggeram, memandang tajam suaminya bergantian. Namun bukan mendapat jawaban yang diinginkan, ia malah ditarik paksa oleh si pirang ke pelukannya.
"Aih.... Kau menggemaskan sekali sih," kata Naruto, mengelus-elus dagunya di puncak kepala Hinata.
Belum sempat Hinata melakukan perlawanan, Uchiha Sasuke, entah suami pertama atau keduanya, protes melalui tindakan dengan menarik pergelangan tangan Hinata paksa. Membawanya ke dalam dekapan posesif, tak lupa mendesis setengah menggeram.
"Jaga tanganmu, Bodoh. Dia istriku!" Serunya, lupa daratan.
Dekapan si raven makin mengerat seiring kemaluannya yang mengeras. Benda serupa jamur Shitake itu sengaja digesek ke permukaan kulit paha Hinata yang bebas. Napasnya yang tadi teratur, perlahan memberat seiring rangsangan kecil yang diterima. Libido meningkat, dan kapasitas akal berkurang. Sasuke kalap, hingga nekad menggeret Hinata ke peraduan.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 in 1 (Adult, Ongoing)
FanfictionNaruto cinta Hinata, Sasuke cinta Hinata, dan Hinata, harus memilih siapa? Persahabatan diantara mereka bertiga tidak main-main. Terjalin semenjak orok hingga sekarang mengetahui apa itu sex, tentu bukan masa yang bisa dihitung jari. Lalu, bagaimana...