Sedikit tak percaya, Hinata memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Mencubit pipi kirinya kuat, setelahnya mendesah kecewa lantaran semua tak sesuai yang ia harapkan.
Gaun sutra berwarna putih yang melekat di tubuh rampingnya tidaklah semu, pula statusnya yang sebentar lagi berganti menjadi istri dari dua pria.
Harusnya, setiap mempelai wanita tersenyum sumringah dengan air mata bahagia---ketika momen sakral dimana dua insan menjadi satu sebentar lagi terlaksana.
Sayangnya, fakta tersebut tidak berlaku untuk Hinata, mempelai cantik bagi dua pria. Sedari pertama ayam berkokok, sampai kini mentari berada tepat di atas kepala, raut wajah gadis itu hanya menampakkan satu ekspresi ... datar. Ia terlalu malas untuk sekedar menunjukan senyum, dan itu akibat pernikahan yang sebentar lagi terlaksana.
Tok tok tok ...
Bunyi ketukan pintu, mengacau lamunan Hinata tentang takdir. Walau terkesan ogah-ogahan, ia akhirnya mempersilakan si pengetuk memasuki ruang pribadinya.
"Masuklah," ijin Hinata, yang disambut bunyi derit khas pintu terbuka.
"Kyaaaa!"
Jeritan sarat akan rasa kagum itu nyaris memecah gendang telinga Hinata. Di depan pintu, berdiri tiga wanita paruh baya---yang mau tidak mau, harus Hinata akui sebagai Ibu dan calon Ibu mertuanya.
Mereka berteriak heboh, setelahnya cekikikan sembari berbisik tak jelas. Sesekali terlihat melirik pada Hinata, sebelum kembali membentuk sebuah lingkaran kecil di depan sana.
Namikaze Kushina, ialah yang pertama mendapatkan kewarasan. Masih menunjukkan senyum penuh maksud, Ibu kelewat girang itu menatap Hinata kagum.
"Nak, apa kau gugup?"
Hinata menggeleng. "Tidak."
"Apa kau haus?"
"Tidak juga," kata Hinata lagi, tampangnya minim ekspresi.
Kushina tersenyum canggung. Diliriknya Mikoto dan Hikari, lantas ia mengedipkan mata tiga kali. Sahutan berupa anggukan kepala, diberi Hikari sebagai balasan. Rupa-rupanya, tiga paruh baya itu ada maksud terselubung. Dan Hinata yang sedang dirundung pening akibat pernikahan langka ini, tidak mencium bau konspirasi atas kedatangan tiga wanita paruh baya itu.
.
.
.
.
.
"Jangan gugup, Sayang. Ayah ada di sini denganmu."
Kedua manik amethis Hinata berotasi mendengar penuturan Hiashi, Ayahnya. Pria paruh baya itu berdiri tepat di sampingnya, mendampingi Hinata menuju pelaminan.
"Aku baik, Ayah. Menjadi pusat perhatian bukan lagi hal baru bagiku," balas Hinata. "Tapi ... " kedua pupil uniknya bersamaan melirik sang ayah. "Are you okay, Dad?"
Hiashi tersenyum sombong mendengar penuturan sang putri tercinta. Merapikan letak dasi, lalu menyodorkan lengan kirinya pada Hinata.
"Tentu saja!" Cetusnya sembari menepuk dada. "Aku Hyuuga Hiashi, pemimpin Clan ternama di Jepang, pantang merasakan yang namanya gugup!" Jelas Hiashi angkuh, kendati ke-2 kakinya sedari tadi tidak berhenti gemetar.
Ayahku yang malang, pikir Hinata miris.
Lupakan sejenak masalah Hiashi dengan kaki gemetarnya. Ketika pintu Gereja terbuka, batin Hinata semakin was-was mendapati dua pejantan sedang berdiri di depan altar, dengan senyum bahagia bercampur mesum.
Hinata mengernyit. Langkah demi langkah yang ia ambil, seolah membawanya pada petaka tak berujung. Memikirkan nasibnya ketika nanti hidup di bawah satu atap dengan Naruto serta Sasuke ... entah keberuntungan atau kesialan yang akan ia dapatkan. Yang jelas, Hinata harus mempersiapkan mentalnya sekuat mungkin.
.
.
.
.
Mulanya, semua berjalan lancar. Tidak ada kegaduhan apapun, kendati NaruSasu FC (sebutan untuk penggemar Naruto dan Sasuke) di pojok ruangan sana, sedari tadi menatap Hinata bak kumpulan serigala tengah mengintai mangsanya.
Namun, ketika memasuki prosesi tukar cincin, kegaduhan mulai terjadi. Bukan dari para tamu undangan atau dari kumpulan wanita yang sedang menggigit sapu tangan di sudut ruangan, tapi biang masalahnya adalah Sasuke juga Naruto.
"Aku duluan, Ayam!"
"Diam kau Bekicot Pirang. Jari Hinata milikku!"
"Apaaa!? Dasar ketek basah. Hinata itu milikku. Harusnya kau sadar diri, Benalu!"
"Kau ...."
Plak plak plak plak ....
Kegaduhan semakin menjadi setelah bunyi tamparan ikut meramaikan suasana. Para wanita menjerit histeris, sementara para pria bergumam takjub. Standing aplaus bahkan diberikan oleh Itachi, sementara Sasuke dan Naruto, hanya bisa meringis menahan perih di pipi.
"Apa kalian tidak bisa tenang?" Bentak Hinata, mengacungkan buket bunga ditangannya yang sudah rontok beberapa tangkai. Bahkan Pendeta yang sejak tadi menjadi penonton, secepat kilat mundur mengambil jarak aman.
Sasuke dan Naruto mendadak bungkam. Dua pria berotot itu takluk di bawah pelototan sepasang bola mata bulat milik Hinata. Lucu sebenarnya. Tapi ketimbang mendapat cakaran barbar ala Hyuuga Hinata, alias Uchiha Hinata, atau bisa juga Namikaze Hinata, Sasuke serta Naruto, lebih memilih menahan pekikan yang nyaris pecah akibat gemas. Toh masih ada malam pertama yang harus mereka jaga agar tetap berlangsung malam ini. Dengan Hinata yang merajuk, akan sangat sulit meng-uwikuwikan gadis itu. Benda warisan ibu yang tersimpan apik di kantung celana, bisa mubazir jika tak dipakai. Kurang lebih, itu yang dipikirkan Sasuke dan Naruto.
.
.
.
.
.
Acara kembali dilanjutkan. Pendeta yang tadi sempat mengamankan diri dibalik karangan bunga, kembali siap di posisi setelah mendapat ancaman melalui tatapan mata dari tiga wanita paruh baya di kursi sana.
Setelah melalu berbagai rintangan dan kendala, akhirnya, Hyuuga Hinata resmi dipersunting Uchiha Sasuke dan Namikaze Naruto.
Sekarang, pertanyaan utamanya. Siapakah yang akan memerawani Hinata? Naruto, ataukah Sasuke?
Bersambung ...
A/n : Maaf pendek. Ini aku kerjain disela2 waktu sibukku. Aku usahakan akan sering update ya 😂
Entah ada yg inget ff ini atau enggk 🤣
Iklan doank '_'/
Jangan lupa follow akun MonsterBijuu ya gaes 😗
Ada sesuanu di akun kolab itu. Kali aja ada author fav kalean yg nyelip di ono 😗
Follow KazehiroTatsuya 😗
👆
Anak FFN pasti kenal dia 🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
3 in 1 (Adult, Ongoing)
FanfictionNaruto cinta Hinata, Sasuke cinta Hinata, dan Hinata, harus memilih siapa? Persahabatan diantara mereka bertiga tidak main-main. Terjalin semenjak orok hingga sekarang mengetahui apa itu sex, tentu bukan masa yang bisa dihitung jari. Lalu, bagaimana...