Perawalan : Tamu pertama

2.2K 31 5
                                    

Tamu

Yang datang berkunjung

Apa yang harus kutulis di sini? Kenapa untuk mendapatkan awal begitu terasa bingung. Aku mungkin akan menjabarkan diriku yang terbiasa sendiri sejak dulu. Ketika Ibu pergi menghadap illahi, dan Ayah melanjutkan hidupnya dengan istri baru yang ia nikahi. Dan mereka yang berusaha mendekati, aku balas dengan menutup pintu hati.

Dari beberapa yang singgah, tapi yang kuakui hanya dua.

Ini adalah buku menuju dirimu, kata yang mengeja dirimu, yang mudah-mudahan memang berakhir denganku.

Ada yang harus kamu tahu, selama sembilan belas tahun ini... hanya ada satu bulan sepuluh hari, dan hanya dua yang kuanggap berhasil masuk, membuka kunci dan menjadi tamu hati. Dan dua kali itu aku menyambut tamu ku dengan tidak sempurna. Profesiku yang sebagai menjadi seorang kekasih bagi seseorang, sepertinya tidak cocok. Aku tak pernah bisa mencintai sepenuh hati. Kecuali jika kamu nikahi, insyaalloh bisa kuteguhkan hatiku untuk hanya kamu yang memiliki. 😱 (seramnya ucapanku hehe).

Teruntuk tamu hati yang pertama...

Aku melepaskanmu, membiarkan kamu kembali pulang. Karena aku tahu ada dia yang menunggumu, yang mungkin lebih layak dariku. Seharusnya jangan kau benci aku, karena itu pun bukan semata karena kemauanku. Sekali lagi, aku tak pernah mencinta sepenuh hati, mungkin salah satunya disebabkan oleh aku yang selalu merasa kurang, takut mengecewakan, atau merasa bahwa kamu terlalu istinewa untuk aku yang biasa, intinya karena kesadaran diri tentang siapa aku dan siapa kamu. Atau kadang kalanya alasan kenapa aku tak pernah betah berlama-lama membiarkan tamu hati, karena aku mungkin mudah bosan, bosan pada siklus hubungan, yaitu : menemukan, manis, hambar, pahit lalu berakhir dengan ditinggalkan.

Begitu juga yang terjadi denganmu wahai tamu pertamaku. Semua ini salahku mungkin, tapi tolong jangan benci aku tanpa kamu tahu apa sebenarnya maksudku.

Kita tetap menjadi teman, setidaknya jika kita tidak bisa lagi saling bicara, maka menyapa tak ada salahnya. Tapi jika tak sanggup, aku maklum... mungkin kau segan, begitupun aku ketika ada kamu selalu malu untuk memulai.

Aku sempat membencimu karena itu, aku sempat menyalahkan dirimu sepenuhnya. Tapi kali ini, aku merelakan segalanya. Apa yang pernah terjadi, baik atau buruknya hubungan kita dulu, kini aku bisa berdamai dengan semua itu.

Di hari terakhir aku melihatmu di masa putih abu, aku ingin sekali kuucapkan maaf. Tapi aku tidak bisa, bahkan pada tamu hati kedua setelahmu aku tidak sempat mengatakannya. Tapi jujur kepadamu aku lebih segan.

Terimakasih untuk beberapa bantuan yang pernah kamu berikan kepadaku. Meski tanpa ucap, tanpa kata, aku tahu kamu masih mau menganggapku sebagai temanmu...

RefleksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang