Secercak Surat

17 1 0
                                    

Pak pos, kutitipkan surat ini padamu semoga engkau memberikannya. Harapku ia membacanya, juga akan menjaganya. Dari sekian banyak surat yang telah kutuliskan, ini semua, aku lakukan untuk kebahagian orang-orang di sekitarnya juga semua orang yang mengenalnya sebagai wanita anggun juga mengerti soal mentari yang sering ia sebut mimpi."

"Baik mas."

"Oke, Terimakasih."

Septya kau begitu banyak disukai oleh orang-orang berdasi bahkan ia yang telah memiliki titel sebagai Doktor hingga Insinyur. Dulu saat kita masih duduk di bangku sekolah dasar, setelah shubuh kita selalu datang duluan ke sekolah, hanya untuk menikmati sunrise jua mentari yang sering kau bilang mimpi. Kini setelah setahun kau tinggalkan kampung halaman untuk mengejar mentari yang selalu kau bilang mimpi, dengan begitu banyak orang-orang berbondong-bondong pergi termaksud dirimu, dengan lambain tangan juga tangis yang terlihat jelas di kelopak matamu. Aku pernah bertanya padamu tentang tujuan yang kau maksud itu. Tapi, justru kau diam tanpa kata, lalu pergi begitu saja. Kini sudah setahun persis waktu kau pergi, sudah kesekian kalinya aku menuliskan surat untukmu, bait-bait puisi tentangmu, lukisan wajahmu yang terpapang di kamar tidurku. Terakhir kukirimkan surat itu sebulan lalu. Namun, kau belum kunjung membalasnya.

Untuk : Septya.

"Tidak tahu sudah berapa banyak aku kirimkan surat padamu; Septya.
Septya sudahlama aku ingin duduk disampingmu sebagai orang yang kamu yakini akan merubahmu menjadi lebih dari apa yang orang lain berikan kepadamu, walau hanya dengan mentari yang selalu aku sebutkan dalam setiap bait puisiku yang sangat berarti menurutmu, hingga kamu pernah katakan bahwa mimpimu adalah mentari itu yang selalu kita lihat saat pagi cerah.
Septya, sudah hampir setahun aku menunggumu dibalik rindu menggebu yang menyayat-nyayat hatiku, aku tahu tidak pantas aku duduk disebelahmu, mengirimkan surat-surat yang tak jua kau balaskan, sebagai orang yang bodoh, miskin, berandal dan tak berpendidikan menurutmu, rasanya mustahil aku bisa, walau sekedar duduk bersamamu bercerita soal mimpi-mimpi jua bagaimana membahagiakan orang-orang disekitar kita.
Septya, jika kamu sudah membaca surat ini, berarti aku yakini kamu telah menjadi orang besar, sukses bersama mentari juga mimpi yang selalu kita nyanyikan pada pagi sunyi kala itu.
Septya, mimpiku masih sama seperti dulu yaitu duduk di sebelahmu ditemani mentari juga segelas kopi."

Dari :
yang mencintaimu.

Hujan mengguyuri kota Yogyakarta dengan derasnya, pada angin-angin syahdu aku masih menyelimuti rindu padanya yang jauh di sana mencari mimpi-mimpi kita yang dulu pernah kita ukirkan di batu besar yang terletak di belakang rumahmu. Hari demi hari kegiatanku kuhabiskan dengan menulis, membaca, juga sambil mendalami ilmu dengan cara mengajar ngaji di TPA peninggalan keluargaku, penghasilanku pun biasa-biasa saja, yang terpenting bagiku sudah bisa buat makan, juga menabung untuk menghujutkan mimpiku bersamamu. Namun, orang-orang disekitarmu Septya juga orang-orang disekitarku... Septya. Mana janji-janji yang dulu kamu katakan padaku? Janji-janji kita yang telah kita ukir di atas batu.
Setiap pagi aku masih sering kerumahmu yang hanya di tempati oleh nenekmu kini, melihat batu besar di belakang rumahmu yang telah dipenuhi rerumputan, hampir seminggu sekali aku kerumahmu sambil melihat keadaan nenekmu yang mulai sakit-sakitan di mulai saat kepergiaanmu.

"Hai nek, apa kabar?"
"Nenek sudah makan?"
"Oh iya, nenek mau jalan-jalan keluar, menghirup udara segar?"

Pertanyaan-pertanyaan kolot itulah yang selalu aku ulangi saat mengunjungi rumahmu seminggu sekali, dan selalu jawaban nenekmu "iya", "ayu", "udah". Hanya itu, semenjak kepergianmu, nenekmu menjadi pendiam, bengong-bengong sendiri... "Septya apakah kamu ga kasian melihat orang disekitarmu." pikirku dalam hati.

***

Hari demi hari aku masih menunggumu, sukur-sukur mendapatkan surat balasan darimu sudah membuatku senang. Aku sering melihatmu di Tv. Namun, mengapa namamu bukan septya. Mulai waktu itu pikiran-pikiranku menjadi terganggu. Apa mungkin, kamu tega melupakan semuanya terlebihkhusus tentang janji kita, apa mungkin kamu sengaja mengganti namamu agar tak dikenali oleh siapapun. Mulai saat itu pula aku benci menonton Tv. Karna aku tidak pernah percaya pada pikiran-pikiranku akan kamu, aku tidak pernah percaya bahwa yang kulihat di Tv itu adalah kamu. Namun, siang ini tidak ada yang menyangka bahwa kamu akhirnya membalas suratku, pak pos datang ke rumahku membawa secercak surat yang kubaca dari dirimu; Septya.

"Assalamualaikum mas?"
"Ini ada surat untukmu."

"Oh, iya Terimakasih pak."

Untuk : Seorang yang mencintaiku.

"Sudah setahun lamanya aku meninggalkanmu, mencari mimpi-mimpi kita tentang mentari yang selalu kita lihat kala pagi cerah dan mengungkapkan janji-janji yang sampai kini belum bisa aku tepati padamu, aku tidak tahu ingin mengungkapkan apa padamu, mungkin maaf. Namun, aku pikir kamu tidak akan pernah bisa memafkanku, atas apa yang telah aku perbuat dan orang-orang yang telah mempercayaiku. Teruntuk kamu seorang yang mencintaiku, apa kamu sudah mendengar berita tentang seorang yang bernama Lina diberita? Iyah, itu aku 'Septya' yang kamu cari selama ini. Kini akan divonis penjara seumur hidup atas apa yang telah aku lakukan perihal 'uang', terhadapmu, terhadap semua yang mempercayaiku, yang mencintaiku, yang menyangiku. Teruntukmu seorang yang mencintaiku, aku tidak bisa menepati janji kita, mungkin aku mohon dengan sangat, ketika aku tidak adalagi, aku memohon padamu akar kamu bisa melupakan mimpi-mimpi kita tentang mentari pagi itu, dan aku benar-benar minta maaf tak bisa menghujutkan mimpimu; bersanding olehmu juga mentari sambil menseruput kopi. Sekali lagi aku titipkan mentari-mentari itu padamu, semoga kamu bisa menghujutkannya, dan bersanding dengan seorang yang layak buatmu, lalu menikmati arti dari mentari itu bersama. Semoga kamu bahagia, dan mohon maafkan aku."

Dari : Septya.

Air mata bercucuran dipipiku, tak bisa lagi menahan tangis, tak bisa lagi menahan amarah, tak bisa lagi menahan beban apa yang benar-benar terjadi. Seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan, lalu aku terkapar.

"Apa yang terjadi."
"Ini hanya mimpi."
"Ini tidaklah nyata."
"Aaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh."
kesalku.

Aku diam seribu bahasa, tentang apa yang benar-benar terjadi.

"Kini apa yang harus aku lakukan." pikirku.

Lalu nenekmu memanggilku dari belakang, langsung berbicara nyambung apa yang sedang aku pikirkan.

"Hey, kamu? Nenek sudah tahu apa yang memang akan terjadi pada septya, ini ada surat buatmu yang sudah lama ia simpan buat kamu." sambil terbatuk-batuk neneknya menyampaikan.

"Hey kamu yang aku cintai, bila nanti aku mati, aku mohon jangan kau kejar tentang mimpi kita. Namun, kutitipkan mentari itu. Karna akan mengantarkanmu pada keabadian yang lebih indah dari sebuah kematian."
-Septya.

Selembar kertas yang hanya bertuliskan tentang janji, membuat kepalaku tak tahan lagi menerima kenyatanya yang benar-benar terjadi.

Kini aku hanya bisa berharap-harap, agar bisa menggapai mentari itu. Lalu tidur di bawahnya dalam keabadian bersamamu juga mentari dan secangkir kopi.

Dan bersanding dalam nisan yang terukir namaku dan namamu.


Penulis masih dalam tahap belajar. mohon koreksi dan saran-saran pembaca semua.
terimakasih...

Salam Literasi !

Perjalanan Tanpa UjungWhere stories live. Discover now