Takdir yang Salah

4 1 0
                                    




"Witing tresno jalaran soko kulino"¹ falsafah Jawa mengatakannya, cinta itu lahir dari keterbiasaan.

'Astaqfirullah...' Ade tergugah dari tidurnya memimpikan hal buruk dalam alam bawah sadarnya. Di sebuah kos-kosan yang ia tempati sendiri sebagai mahasiswi rantau, jauh dari orang tuanya. Ia termangu memikirkan sesuatu dalam mimpinya ditemani segelas air putih yang ia ambil dari dispenser di samping tempat tidurnya. Mimpi itu aneh, ia meratapi seseorang yang ia cintai karena dalam sebuah mimpinya dihadirkan sesosok kekasihnya.
Bulan perlahan tenggelam dan embun-embun membasahi sebuah teras di depan kosnya, azan subuh kemudian berkumandang dengan begitu syahdu membuat bulu kuduknya tergetar dengan lantunan yang di kumandangkan. Saat semua masih tertidur dalam kesunyian ia basuh tubuhnya dengan air wudhu dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim seraya berdoa semoga baik-baik saja.
Fajar terlihat mempesona dari upuk barat memancarkan cahaya-cahaya. Ia bergegas untuk ke kampus di mana ia kuliah, UNSU² nama kampusnya di sana ia belajar dan di sana juga ia menemukan seseorang yang ia cintai. "Pertemuan memang selalu membuat kesan tersendiri bagi seseorang, pertemuan itu membuat pertemanan menjadi keakraban kemudian timbullah sebuah rasa." Ia bernama Panca Aditama mahasiswa Teknik di perguruan tinggi yang sama dengan Ade. Pertemuan itu bermula pada organisasi kampus, Panca mahasiswa semester 2 dan Ade sudah semester 4 pada waktu itu.
"Nama saya Panca Aditama biasa dipanggil sayang" ucap Panca saat memperkenalkan diri di sebuah organisasi.
"Hahahahha" tawa dibuat-buat.
"Nggak lucu" ketus suara para anggota yang lain.
"Biarin, aku juga ga ngelawak ko." Balas Panca.
Dari sebuah organisasi tersebut lah akhirnya ia selalu bertemu. Pertemuan dari pertemuan terulang-ulang Ia menjadi teman akrab sekali, makan bareng, jalan-jalan bareng, hingga bercanda tawa bersama, senang maupun susah dijalani berdua.

Pada minggu syahdu dan hati terasa begitu senang, wajahnya berbinar-binar, hatinya berdebar-debar. Ia berdua merencanakan jalan-jalan bersama ke kota awan 'Dieng' lebih tepatnya. Panca bergegas dengan sepeda motor Supranya yang begitu legendaris dengan sebuah harap hari itu menjadi hari indah baginya. Di sebuah perjalan menjemput Ade, ia membayangkan melihat-lihat sekitar yang ia lalui. Sepasang kekasih sedang saling bercengkrama di atas sepeda motor begitu romantis, sambil tertawa-tawa.
"Hey.. Dee, maaf telat yaa" saut Panca kepada Ade.
"Nggak apa-apa kok" balasnya dengan senyum manis.
"Gimana, mau kemana kita hari ini?"
"Kemana ajalah asal sama kamu"
"Oiya... Kita ke Dieng yukk, katanya kamu pengen banget ke sana. Apalagi tar malam ada festival lampion loh di sana."
Tanpa aba-aba lagi Ade langsung meng iya kan ajakan Panca.
Pukul sembilan pagi ia berangkat ke Dieng dengan hati bahagia. Di atas sepeda motor Supra tercipta sebuah kenangan yang begitu tidak akan ia lupakan bersama, di sepeda motor jadul itulah Ade merasakan romantisme dalam hatinya, bercengkrama dalam balutan embun-embun yang menutupi jalan-jalan kota Wonosobo. Tanpa memikirkan sebuah perpisahan, karena ia begitu yakin akan terus bersama hingga hari tua. Tanpa kata Cinta ia pun merasakan dan meresmikan sebuah hubungannya. Hingga ia pun tak pernah tahu kapan tanggal ia mengikat sebuah janji itu.
"Caa... Kita sebenarnya kapan si anniversarynya."
"Aku aja gatau Mbull."
"Gimana kalo kita tetapkan aja berdua, hehehe" Sambil tersenyum tipis.
"Okee... Gimana tanggal sebelas september dua ribu empat belas, karena itu awal-awal kita bertemu, hehehe."
"Oke... Kalo begitu kan kita bisa merayakan anniversary kita, kaya orang-orang pacaran, hehehe" sambil dibaluti dengan tawa keduanya.
Cinta memang akan hadir seiringnya waktu, jika kita selalu bersama.

Lima Maret dua ribu enam belas. Ade Wulandari wisuda, menjadi sarjana. Panca pun tak tahu harus bahagia atau bersedih, pasalnya itu tandanya ia akan menjalani hubungan jarak jauh (LDR). Hari itu pula di mana Panca kenal dan menjadi akrab dengan keluarga besar Ade Wulandari.
"Selamat yaaa Mbull" saut Panca kepada Ade.
"Iya... Yee, kamu cepet nyusul yaaa." Balas Ade.
"Insyaallah Mbull."
"Kamu harus semangat pokoknya, demi hubungan kita yaa, aku akan selalu menunggumu."
Sesi foto wisuda pun dilakukan, Panca pun ikut berfoto dengan keluarga besar Ade Wulandari.
Pada akhirnya setiap pertemuan di akhir dengan sebuah perpisahan, tapi ia yakini ini adalah perpisahan yang akan menguatkan dan menyatukan kita lagi di jenjang yang berarti.

Glegarrr... Suara petir menyambar pepohonan di sebrang jalan, rinai perlahan-lahan jatuh, membasahi jalan-jalan yang pernah di jejaki, menciptakan genangan-genangan di setiap sudut jalan itu. Kata-kata yang penuh makna kini telah hilang maknanya, janji-janji manis kini tak terasa gulanya. Semenjak hubungan jarak jauh (LDR) ia selalu meributkan hal-hal sepele menjadi besar, namun itulah sebuah hubungan. Namun Ade masih tetap kuat dan mengatakan semua baik-baik saja, ia masih saling mengirimkan kabar walau hanya sepatah duapatah kata.

Kota Purwokerto di mana semua di mulai kisah tak mudah untuk di lupakan, persahabatan dan cinta menyatukan kini menemukan jalan buntu di ujung persimpangan. Ade Wulandari kembali lagi ke kota Purwokerto untuk menghadiri undangan pernikahan temannya sekaligus temu kangen dengan pujaan hatinya. Menggunakan kereta ia bergegas ingin memecahkan celengan rindunya. Di sudut kereta dengan sofa ia bersandar sambil memandangi jendela dan melihat alam indah dari balik jendela kereta. Ia berpikir hal-hal baik akan cepat Tuhan menyampaikan kepada, ia ingin hubungannya ke jenjang lebih serius lagi. Sampailah di kota kenangan katanya. Ia di jemput oleh kekasihnya, bukan dengan sepeda motor Supranya yang romantis baginya, namun dengan kendaraan roda empat untuk menghadiri sebuah undangan pernikahan.

Hari itu cuaca sedikit mendung kota itu di selelimuti kabut dan udara serasa begitu dingin. Hari kepulangannya kembali ke kota asalnya Ade berpamitan. Panca sedikit menahan lajunya dan mengatakan sebuah perpisahan dan sebuah janji.
"Sebenar Mbull... Ada yang ingin aku omongin sama kamu" matanya berkaca-kaca.
"Apa... Panca?"
"Aku ingin kita sejenak mengakhiri hubungan ini, untuk aku lebih focus menyelesaikan kuliahku, karena itu adalah jalan untuk kedepan hubungan kita. Aku janji padamu, aku akan kembali" dengan tetesan air mata ia menyampaikan.
Ade pun syok mendengarnya sambil meneteskan air matanya, hubungan yang sudah hampir 5 tahun ia jalani, justru dengan semudah itu ia akhiri walaupun dengan janji akan kembali.
"Kenapa harus seperti ini? Okee baiklah, kamu janji yaa, aku akan menunggumu" balas Ade.
Kepulangannya ke kampung halaman membawa oleh-oleh luka yang dalam di hatinya. Iyaa tak tahu bagaimana jadinya orang tuanya yang sudah berharap dengan Panca mendengan kabar ini? Sebuah tanda tanya begitu banyak tertampung di isi kepalanya.
"Kamu kenapa Dee?" Tanya orang tuanya melihat ia selalu termangu di sudut kamarnya.
"Cerita atuhh sama ibu kalo kamu ada masalah"
"Nggak apa-apa kok Bu" balasnya.

5 bulan kemudian...

Di hari ulang tahun Panca tanggal satu bulan januari. Ia mengucapkan selamat ulang tahun.
"Selamat ulang tahun Panca Aditama, semoga kamu cepat lulus yaa dan cepat memberikan yang terbaik untuk orang di sekitar kamu" ia ucapkan melalui media sosial.
"Mulai hari ini, aku minta tolong jangan lagi ganggu aku, lupakanlah semua janji-janji yang pernah aku ucapkan, kita tak mungkin lagi untuk bersama" balasnya dengan mata berbinar sambil memblokir nomer teleponnya.
Ade Wulandari dibuat kaget dengan balasannya, ia tidak mengerti lagi dengan apa yang Panca ucapkan kepadanya, setelah 5 bulan tanpa komunikasi ia justru menusuknya dengan kata "kita tak mungkin lagi untuk bersama." Ade ingin sekali menanyakan kenapa dan kenapa, namun ia baru menyadari nomer teleponnya di blokir oleh orang yang ia cintai.

Lambat-laun akhirnya semua itu terungkap oleh keluarganya, di teras rumah dengan secangkir teh panas dan udara pagi begitu segar untuk mengawali awal baru dari sebuah masalalu, ayahnya duduk sambil memikirkan masa depan anak-anaknya.
"Ade sini ke depan nak" saut ayahnya dari luar.
"Iya... Ayah ada apa?"
"Sini duduk ayah ingin bicara."
"Jangan bilang ayah gatau yaa, hubungan kamu sama si sontoloyo itu" dengan nada sedikit kencang.
"Lupakan sudah dia, laki-laki bukan dia aja" lanjut ayahnya.
Ade hanya bisa mengangguk-angguk saja apa yang di bicarakan ayahnya sambil menahan tangis membendung di kelopak matanya. Semua tentangnya ingin dihapuskan oleh ayahnya hingga satu-satunya kenangan terindahnya, pigura di ruang tengah rumahnya terpampang lumayan besar yang dihiasi foto wisudanya dengan keluarga besarnya dan juga dengan dia, di potong fotonya oleh ayahnya, gambar orang yang pernah ia cintai Panca Aditama.
Kini kepastian itu, hal besar tentang janjinya tidak akan pernah terjadi. Karena orang tua Ade sudah sangat membencinya.

Lima tahun terjalani dengan sia-sia, membuatnya begitu terpukul dan menghilangkan rasa semangatnya dalam hidup ini. Orang tuanya pun sudah tahu keadaan sebenarnya menambah ia semakin gelisah pada hidupnya.
"Sudahlah... Tuhan biarkanlah kenangan ini hanya menjadi pembelajaran baik untukku, jangan pernah hilangkan hal baik yang pernah ada dalam cerita aku dan dia" doa dalam sembahyangnya.

Kini ia berdua punya jalannya masing-masing Panca Aditama sudah memiliki pasangan yang sedang ia jalani, sedangkan Ade Wulandari masih berpaku pada sebuah pelajaran yang pernah terjadi dan sulit untuk memulai kembali.

Keterangan
¹cinta itu lahir dari keterbiasaan
²nama Universitas

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Perjalanan Tanpa UjungWhere stories live. Discover now