"Nyotoooooo...! Sudahkah kau panen sawit di Blok 21...?!" Musa beteriak lantang. Misainya bergoyang-goyang. Dia marah besar. Ini kesekian kalinya Nyoto abai dengan penugasannya.
Tergopoh Nyoto datang menghadap. Sepatu boot plastiknya berlumur tanah liat. Dia lari dari warung di sebuah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotabaru, pedalaman Kalimantan. Mulutnya masih menguyah makanan, badannya kurus kering seperti kurang gizi.
"Maaf saya lupa. Siap nanti dipanen, habis makan," terbata menjawab setelah berhadapan dengan Musa.
"Oke! Aku tidak mau tahu! Hari ini harus semua dipanen. Ini sudah jam kerja. Areal blok sekitarnya sudah hampir semua dipanen, tinggal blok 21 itu saja"
"Siaaap Bos..!"
Tergopoh Nyoto kembali ke warung. Dia makan buru-buru. "Sudahlah To. Makan santai saja. Dia kan bisanya suruh-suruh saja. Baru juga mandor, lagaknya sudah kayak bos besar," dumel Bibi warung.
"Eng....ndak bisa Bi. Bos Musa benar. Tinggal itu belum dipanen. Kasihan truk angkut, kalau semua areal habis tinggal Blok 21 saja, rugi solar truk. Soalnya paling ujung bloknya," jawab Nyoto terburu dan kurang jelas, mulutnya penuh makanan.
"Iya aku tahu. Tapi sudah lima tahun kamu kerja, tidak ada berani panen blok itu. Cuma kamu aja. Ya harusnya Musa bisa mengerti"
Nyoto hanya tersenyum pendek. Melanjutkan mengunyah makanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESURUPAN
Mistério / SuspenseKonon makam itu menyimpan tulang belulang seorang raja. Raja dengan dua selirnya. Raja itu kabarnya hidup dan memerintah ratusan tahun yang lalu. Ada beberapa keturunannya di desa. Waktu perusahaan kelapa sawit masuk ke desa belasan tahun lalu, bebe...