Part 1

16.6K 2K 170
                                    

Suara langkah sepatu dengan hak setinggi enam cm sudah terdengar dari ujung lorong. Ini masih pukul 7.45 pagi, tetapi wanita dengan tubuh tinggi, berkulit putih dengan rambut yang selalu ia gelung rapi sudah memasukki sebuah ruang kelas. Di tangannya sudah terdapat laptop dan kertas-kertas hasil kuis para mahasiswa pekan lalu.

Sebenarnya kelas dimulai pada pukul delapan. Namun, para mahasiswa rela sudah datang sebelum dosen ini, karena ketika jam menunjukan pukul delapan lewat satu menit, maka kesempatan mereka lulus mata kuliah pembunuh ini akan musnah dalam hitungan detik. Masuk saja belum tentu mengerti, apalagi di suruh keluar karena telat?

Selama lima belas menit, sang dosen yang sering membunuh kebahagiaan malam minggu para mahasiswa dengan tugas papernya ini sibuk menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dan teliti. Ia menggunakan kaca mata yang justru membuat wajahnya semakin seram dan suasana kelas akan berubah menjadi kuburan ketika, lampu kelas diredupkan dan LCD menyorot papan screen, seakan membuka sebuah lorong waktu menuju dimensi lain.

"Selamat pagi semuanya.

"Pagi, Bu Zetta...."

"Hari ini pembahasan kita lanjutkan pada bagian Teori Atom Hidrogen." Suaranya sudah menguasai seluruh kelas. Jangan pernah bercakap ketika ada di dalam ruangannya, jika tidak mau disuruh maju mengerjakan soal. Itu hukuman terbaik. Lebihnya sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi.

Satu jam dua puluh menit berlalu, tetapi nyatanya Zetta tidak terlihat lelah menjelaskan hal yang membuat para mahasiswanya mengalami pecah raga. Raga mereka diruangan itu, tapi pikiran dan jiwa mereka sibuk membayangi bagaimana teori abstrak itu dianalogikan pada hal-hal yang lebih nyata. Yang pecah raganya seperti itu hanyalah para mahasiswa yang duduk di barisan pertama hingga ketiga, sisanya ke belakang jiwa raganya pecah antara kelas dan kantin atau kasur.

Dua puluh menit terakhir digunakan dosen ini dengan memberikan kuis atas apa yang ia jelaskan tadi. Membuat para mahasiswa hanya bisa mendekatkan diri pada Tuhan, berharap kali ini dosanya diampuni, sehingga doa untuk bisa mengerjakan soal kuis dikabulkan.

Dua soal yang dikerjakan dalam waktu 15 menit terlihat sangat manusiawi, hanya jika soal yang diberikan adalah apa yang benar-benar diucapkan sang dosen. Namun, sang dosen ini memberikan soal yang menuntun pemahaman lanjutan atas apa yang ia terangkan.

"Kuis kok kayak proklamasi yang dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya?" celetuk seorang mahasiswa yang duduk di belakang.

"Ya Allah! Kalau Bapak gue Einsten, terus Om gue Max Planck, hidup gue damai kali yaa.." ratap mahasiswa yang duduk di dekat pintu.

Semua tampak serius menekuni soal yang diberikan sang dosen. Semua mengerjapkan mata, berharap semuanya hanya mimpi. Semua doa dan harapan saja seakan takut memberikan pertolongan pada para mahasiswa jika itu berkaitan dengan dosen killer ini. Soal ini susahnya bukan main, Bung!

"Dosen itu menjelaskan A-F sisanya kaliah olah sendiri. Kalian itu mahasiswa, bukan siswa lagi. Kalau kalian kurang paham, saya sudah persilahkan kalian untuk bertanya. Kalau kalian tidak bertanya, jangan salahkan saya kalau saya anggap kalian semua mengerti." Begitu kalimat yang selalu dilontarkan wanita yang memiliki tinggi 175 cm. Sebenarnya sang dosen ini adalah sosok wanita cantik yang bisa saja membuat banyak pria bertekuk lutut. Namun kalau sudah berbincang dan mengetahui siapa wanita ini lebih lanjut, mundur adalah sikap yang bijak, Bung!

"Waktu habis, silahkan kumpulkan, dan ini hasil kuis pekan lalu. Saya akhiri kelas pagi ini. Terima kasih." Dosen itu menutup sesi paginya dengan menyerahkan kertas hasil dan menerima kertas mahasiswa yang baru.

"Dasar dosen perawan tua! Susah banget llihat mahasiswa bahagia! Dikit-dikit kuis, dikit-dikit paper, dikit-dikit aaah! Pokoknya sadis banget sih!" begitu celetuk salah seorang mahasiswa yang sudah mengulang untuk ke dua kalinya di mata kuliah ini.

Ampun, Bu Dosen! ✔ (Pindah Ke GWP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang