Part 2

13.4K 1.6K 105
                                    

Zetta POV

Hari ini aku mendatangi rapat KEMENRISTEK bersama beberapa dosen dari fakultasku. Hal paling aku benci adalah pelaksanaan rapat yang terlalu lama dengan pembahasan yang tidak langsung pada intinya seperti ini.

Aku tahu, topic yang dibahas rapat ini sangat penting menyangkut masa depan penelitian para dosen yang otomatis akan memengaruhi jenjang karir kami. Tapi bukan berarti rapat itu harus dilaksanakan dari jam 10 hingga makan siang ini pun belum selesai.

'Beginilah cara kerja orang-orang yang tidak tahu efisiensi waktu. Sudah berjam-jam mengadakan rapat, intinya juga lebih jelas jika dikirimkan dengan surat edaran.' Ucapku dalam hati.

Aku melirik jam tangan dan teringat hari ini ada janji dengan calon mahasiswaku, Galang. Rapat ternyata masih dilanjuutkan hingga pukul 2. Setelah itu, aku pun segera mengambil langkah seribu meninggalkan gedung tempat kami semua rapat tadi. Untungnya hari ini aku tidak membawa mobil dan memilih transportasi cepat, yakni commuter line. Beruntungnya kampusku dilewati rel kereta api, yang bahkan nama kampusku juga menjadi nama stasiun.

Pukul 2.40 aku akhirnya sampai di ruangan yang sengaja aku dominasikan warna biru. Aku bergegas ke kamar mandi untuk memperbaiki diri. Bukan berniat tampil cantik di depan calon mahasiswaku, namun menghargai diri dengan menjaga penampilan tak salah bukan?

Tak berapa lama, ruanganku diketuk dan sebuah suara berat namun lembut terdengar. Aku pun memasang wajah datar seperti biasanya.

"Silahkan.." sahutku.

"Selamat sore Bu, saya yang bernama Galang. Saya diundang Ibu ke sini, untuk mempresentasikan proposal saya." Ucapnya dan membuatku memperhatikan pria itu lebih dalam.

"Oh iya, silahkan duduk Galang. Saya Zetta Andreanna dan saya adalah dosen yang biasa memegang mata kuliah fisika modern dengan semua turunannya. Sebelumnya, saya ingin bertanya, apa alasan kamu memilih bidang riset Nuklir dan Partikel Teoritis dibandingkan yang lain?" Tanyaku to the point. Ekspresi serius sengaja aku keluarkan dan tampaknya calon mahasiswa ku ini menelan ludahnya.

"Saya memilih tema itu karena sejalan dengan pekerjaan saya di BATAN Bu. Dulu S1 saya jurusan Teknik Nuklir, saya dapat kesempatan melanjutkan S2 dengan peminatan yang sesuai dengan pekerjaan saya. Maka dari itu saya memilih fisika nuklir." Terangnya dengan tenang dan logis.,

"Kalau pemilihan dosen, kenapa kamu pilih saya?" Aku bertanya dengan pandangan yang sengaja aku tajamkan. Aku tahu masih banyak dosen bergelar professor yang bahkan bisa menjadi pembimbing pria ini lebih baik;.

"Karena saya tahu, kalau Ibu adalah dosen muda terbaik dengan catatan penelitian yang membuat saya yakin, saya bisa mendapatkan banyak ilmu dari Ibu." Calon mahasiswaku ini menjawabnya dengan tenang.

"Kamu tidak tahu kalau saya tipikal dosen sadis?" tanyaku lagi.

"Kalau sadis yang didefinisikan perfectionist dan disiplin, Saya tidak masalah Bu. Justru itu yang menjadi alasan saya memilih Ibu." Jawaban yang ambigu dari calon mahasiswa ini, namun aku tak ambil pusing. Lagipula, mana ada pria mau modus sama wanita yang lebih tua 3 tahun darinya?

"Saya ini masih dosen muda. Meski secara pendidikan saya sudah bisa membimbing, tapi sebenarnya saya kurang percaya diri. Kamu harusnya mengajukkan ini pada Prof Eka atau Prof Malik. Bahkan kamu akan dapat bimbingan yang luar biasa dari dua guru besar itu." Aku mencoba menggoyah keinginannya. Galang menggeleng mantab dan justru menatapku dengan tajam.

"Saya sudah meminta mereka sebagai dosen penguji saya Bu. Tapi saya mau, Ibu yang menjadi pembimbing saya. Saya yakin Ibu bisa membimbing saya. Lagipula, kita bisa menerapkan sistem partner in working seperti yang biasa Ibu lakukan di Amerika, bukan?" Calon mahasiswaku ini adalah tipe pria yang keras kepala dan berlogika tinggi. Kini ia mencoba menjelaskan kesungguhannya melalui caranya menatapku. Bagaimanapun aku perempuan yang merasa risih juga ditatap sedalam itu.

Ampun, Bu Dosen! ✔ (Pindah Ke GWP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang