part 9

117 2 0
                                    

Tiga hari aku istirahat di rumah untuk melepaskan jet lag, pagi hari ku menikmati kabut yang indah di lembah ujung desa lereng gunung himalaya.

Rawalpindi memang indah jika di Indonesia mirip udara di daerah Puncak. Air terjun dari gletser yang mencair disebabkan karna aku datang di musim semi menghunjam bebatuan yang terserak di sekeliling hutan pinus. Lokasinya mirip dengan latar tempat di film Khrish 1.

Shazia sesekali mengajakku berjalan - jalan sore aku disana diharuskan memakai burqa, karna akan keluar bepergian, sebenarnya aku kurang nyaman dengan burqa ini, tapi ku harus menghormati adat disini.

Aku dan Ali juga Shazia mengunjungi sahabat ali yang membantu mencari jejak kak Zuleikha, yaitu Shafwan.

Rumahnya lumayan jauh dari rumahnya Ali, tepatnya di perkampungan tradisional, memang di Rawalpindi terkenal beberapa kampung tradisional yang berumur tua dan dilindungi UNESCO, sebagai bagian wilayah kerajaan Taxila pada zaman India kuno, kampung itu begitu unik dan artistik.

Aku berjalan menyusuri lorong - lorong kampung yang sangat memanjakan mata, Shazia menunggu di mobil, Ali berjalan di depanku, rasanya aneh ketika kami bercakap - cakap di mesengger kami begitu akrab tapi mengapa ketika ada di dunia nyata kita menjadi kikuk.

Saking melamun aku terjatuh kakiku tersandung batu, aku memekik kesakitan. Ali berbalik terkejut dan memeriksa kakiku.

" oh zahra, what happen? Are you ok?"

Aku memijit - mijit kakiku pertanda kesakitan, Ali reflek menolongku untuk duduk dan melenturkan otot kakiku.
Aku ingin membetulkan ujung salwarku dan tak sengaja kami berpegangan tangan dia menatapku, Ya Allah matanya begitu indah berbinar penuh cinta, rasanya aku tak sanggup membalas pandangannya, aku menunduk dan mengaduh.

Ali berdiri dan meninggalkanku dan berlari. Duh ini laki - laki aneh sekali orang menolong yang sakit malah lari, aku menggerutu dalam hati, tak lama Ali muncul bersama temannya membawakan obat untuk memar di kakikku. Ternyata aku salah sangka padanya.

"Thanks Ali, its make me comport." Ujarku merasakan rasa sedikit hangat di bekas memarku.

Akhirnya aku bisa berdiri dibantu Ali menuju rumah Shafwan, dia mengenalkan keluarganya kemudian menunjukan foto - foto yang dia dapatkan dari investigasinya memang mirip sekali orang di foto itu dengan foto Fawwaz milikku.

*****

Esoknya kami memulai perjalanan mendaki lereng gunung yang ditunjukkan oleh Shafwan. Di sekeliling lereng terhampar kebun sayuran dan bunga milik penduduk hamparan kebun wortel dan bit menyejukkan mata laksana permadani.

Kami bertanya kepada penduduk sekitar yang terlewati dengan menunjukkan foto, salah seorang dari mereka tampak menjelaskan kepada Shafwan jika orang tersebut pernah terlihat melintas ke arah puncak bukit. Ya Allah aku harus berjalan lebih lagi, tapi tak apa demi hasil yang memuaskan aku akan tetap jalani, setengah jam kami berjalan mendaki, udara dingin himalaya menyambut kami dengan lembut.

Aku lelah dan terduduk di batu besar pinggiran sungai berhutan pinus, sungainya putih bening karna aliran dari air terjun gletser di puncak sana, Ali mengagetkanku dengan menyibak percikan air hingga mengenai wajahku.
Dasar nakal gumamku.

Jejak - Jejak Cinta di Tanah PakistanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang