Seoul seperti biasa , dimana hari sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang tandanya, bahwa dimanapun kalian melihat kendaraan umum, disanalah manusia-manusia gila kerja mulai berangkat mengejar peluang untuk kelangsungan hidup mereka. Saling berdesakan, berlarian , saling melemparkan suara klakson dengan emosin. Begitulah, padat dan membosankan. Seolah-olah mereka bagaikan robot.Namun , mau tak mau, suka tak suka , itulah hidup. Jika tidak dijalani, lantas bisa jadi apa nantinya?
Tidak mungkin kita bisa bertahan dengan hanya mengandalkan televisi dan sofa setiap harinya , tanpa bekerja. Dan hari Senin ini, bak semua kecemasan yang akhir pekan lalu dilupakan kini meluap dengan sempurna. Membuat raut-raut serius terlihat begitu jelas diwajah mereka.Begitu juga aku."Minggir-minggir,"
"Permisi,"
Begitu padat nya bus yang biasa aku naiki menuju tempat kerja ku. Begitu banyak macam-macam aroma parfume yang setiap pagi aku hirup sembari menunggu pemberhentian selanjutnya.
Sempat terfikir diangan ingin sekali rasanya aku menjadi orang kaya, agar bisa membeli mobil pribadi sendiri. Dengan santainya menikmati alunan musik indie favorit disetiap pagi, dan alunan musik jazz romantis dikala perjalanan pulang ke apartment. Namun , ingin hanyalah ingin. Nyatanya , bahkan gaji ku bisa raib hanya dalam waktu dua minggu saja. Membuatku tersadar , memang malang sekali nasibku.
Kuturuni bus dengan santai ,seraya memasukan kembali ponsel ku kedalam tas. Hanya perlu berjalan 10 menit lagi untuk sampai di tempat kerjaku. Tempat dimana bahkan hampir 80% setiap hariku, kudedikasikan disana sepenuhnya. Hanya untuk gaji yang bisa raib dalam waktu dua minggu itu. Mengerikan memang.
Memasuki gedung megah itu dengan penuh percaya diri, saling menyapa sesama rekan pekerja yang juga baru saja sampai. Keseharian yang biasa ,namun dengan melihat senyum mereka disetiap pagi membuatku jadi berfikir , bahwa pekerjaan ku tak melulu tentang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun juga kebutuhan jiwa dan relasi ,seperti teman dan semangat. Disini aku kenal baik dengan banyak orang, walau sebenarnya aku baru enam bulan bekerja dikantor ini. Sebuah perusahaan besar yang kini memilik 9 cabang di Asia. Dan sepertinya akan membuka satu lagi cabang di luar Asia.
Sesampainya dimeja kerjaku, baru saja rasanya ingin mengistirahatkan kakiku yang dengan sudah lelah berjalan mengenakan higheels terkutuk ini. Namun, tiba-tiba telefon berdering diatas mejaku, membuat rekan kerja yang lain menengok menyadari nya. Segera kuangkat karena aku yakin itu dari atasan. Berdehem dengan samar untuk menetralkan suara lelah dan tersengal ku ,lalu menempelkan gagang telefon tepat di telinga kananku.
"Iya Pak Direktur? Ada yang bisa saya bantu?" Pungkasku begitu saja.
Tak perlu menunggu lama , Pak Direktur dengan tegas menyuruhku menemui beliau di ruangannya.Ketika sampai didepan pintu ruangan pak Direktur, ku rapikan kembali pakaian yang sempat berantakan karena perjalanan melelahkan pagi ini. Meyakinkan aku harus terlihat segar dan rapi , agar tak mendapat teguran dari pak Direktur yang terkenal sangat disipilin. Beliau adalah pria beumur 42 tahun yang cukup ramah dan tegas. Namun dia sosok yang pengertian dan baik dengan semua karyawannya.
Direktur Choi memang cukup adil, ia tak pernah menganggap kami adalah pesuruh atau karyawan. Ia menganggap kami adalah teamnya. Dibawah naungannya , bukan dibawah perintahnya. Membuatku bersyukur dapat bekerja dengan layak ditempat ini.
"Selamat pagi Pak Direktur." Sapaku saat badanku sudah sepenuhnya memasuki ruangannya. Ia mempersilahkan ku duduk dengan isyarat tangannya.
"Jadi langsung saja pada intinya, " ucapnya sedikit menggantung. Aku tak berniat memotong kalimatnya karena aku tau beliau akan melanjutkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Find Me - Jung Jaewon
Fiksi PenggemarSejak aku kecil, ibuku selalu menceritakan ku sebuah kisah dongeng nan abadi yang mampu membuat mimpi ku malam itu begitu indah. Bagaikan sebuah candu, aku ingin memiliki hidup layaknya bermacam-macam putri dongeng yang ibu ceritakan. Bagaikan penaw...