Hari itu hari Rabu dengan seragam kesukaanku. Atasan bermodel sailor dengan rok berlipit. Seperti biasa, aku mengikuti pelajaran dari pagi sampai sore. Hari itu kelasku digabung kelas kakak angkatan dua tahun diatas kami merencanakan properti kami untuk class meeting hari Jumat depan. Berhubung rumah salah satu kakak kelas dekat dengan sekolah, kami memutuskan berkumpul disana.
"Bel, aku bonceng saja kesananya." ajak Gio, teman sekelasku.
"Ayo saja." ucapku mengiyakan ajakan Gio. "Kei gimana?" Aku menoleh melihat Kei yang agak kebingungan.
"Aku saja yang antar Kei!" ujar Jonas bersemangat.
"Iya, aku bareng Jonas saja, Bel." Aku mengangguk, naik ke motor Gio dan meninggalkan halaman sekolah. Segala properti kita siapkan, menyusun strategi serta berlatih sambil menebar canda membuat seisi ruangan penuh gelak tawa kami.
"Eh, beberapa temanku satu angkatan ingin berkumpul disini juga sepertinya." ucap kakak kelas si pemilik rumah.
"Tambah ramai dong." sahut yang lain.
"Iya ya. Hahaha." jawab si pemilik rumah sambil tertawa kecil. Lewi namanya. Pandai, tanggap dan suka berorganisasi. Teman-temannya yang ingin berkumpul di rumahnya nanti, satu organisasi dengannya dan yang aku tahu Kak Richo dan dia-yang-kurasa-namanya-Han juga ikut. Aku sungguh berharap tak bertemunya lagi setelah UKS itu.
Tak lama, mereka datang, aku melihatnya laki-laki menyebalkan itu, melepas sepatunya, masuk, dan melihatku sambil berjalan. Masih aneh ternyata. Dibelakangnya menyusul teman-temannya yang lain, termasuk Kak Richo.
"Loh, ada Bella juga." ucap setelah ia menyadari keberadaanku.
"Iya, kak." Ia mendekat dan duduk di sebelahku, melihat poster yang kubuat berisi sorakan untuk menyemangati kelasku Jumat besok.
"Wah, untuk classmeeting ya?"
"Iya, kak."
"Iya iya saja kamu."
"Lalu harus gimana lagi?"
"Harus beritahu aku."
"Beritahu apa?"
"Beritahu aku caranya menumbuhkan."
"Menumbuhkan apa?" Aku mengernyitkan dahi. Ia tersenyum lebar agak tertawa. Ia tampak senang berhasil membuatku penasaran dengan kata-katanya.
"Menumbuhkan tunas perasaanmu." Aku sedikit memiringkan kepalaku, tak berhasil memahami kata-katanya. Ia berdiri sambil tersenyum lebar, meninggalkanku dengan banyak tanda tanya.
"Bel, Kei, Nas, aku pulang dulu ya!" pamit Gio ingin pulang.
"Eh, aku ikutan. Antarkan ke sekolah saja tolong. Pulang dulu ya, Kei, Bel!" ucap Jonas menyusul Gio ke parkiran.
"Bel, aku juga sudah dijemput ternyata. Kamu pulangnya gimana?" ucap Kei.
"Eh, iya ndak apa-apa kok. Pulang saja. Hati-hati di jalan ya." Kei memanggul tasnya berjalan keluar sambil melambaikan tangannya padaku.
"Loh, Bella belum pulang?" Kak Lewi berjalan ke arahku, diiringi Kak Richo dan aduh-aku-hanya-tahu-ia-Han. "Sekalian saja kami mau ke sekolah." ajak Kak Lewi. Aku mengangguk, memanggul tasku, dan mengikuti langkah mereka.
Kak Lewi naik ke motor Kak Richo yang berarti mengharuskan aku diantar si Han itu. Aduh. Otakku berusaha keras mencari cara menghindarinya.
"Bella diantar Hanzel ya." ucap Kak Richo sembari meninggalkan kami. Akhirnya, aku tahu namanya. Hanzel. Nama yang menarik, aura yang buruk.
"Malah melamun. Cepat naik." Aku tersentak bangun dari lamunanku. Mengangkat rokku dan naik ke motornya. "Sudah?" katanya memastikan.
"Sudah." Motor melaju pelan. Jantungku berdegup kencang. Aku takut. Bayangkan saja, ini sudah sangat sore menjelang malam dan aku diantar seorang laki-laki yang perawakannya saja membuatku bergidik ngeri.
"Namamu Bella?" Ia membuka percakapan.
"Iya." jawabku singkat dan pelan. Aku bahkan tidak yakin ia mendengarku.
"Takut?" ujarnya seakan-akan tahu benar tubuhku sedikit bergetar dibelakangnya. Aku tak menjawab. Lebih tepatnya, tidak tahu harus menjawab apa. "Jangan takut." Suaranya lebih lembut, berhasil membuatku lebih tenang. Jantungku mengurangi degupannya. Aku tersenyum tipis. Manusia sepertinya, ternyata bisa bersikap manis juga.
Hari itu seperti hari pada biasanya. Hari Jumat, hari terakhir masuk sekolah di minggu itu. Sekolahku menerapkan sekolah lima hari membuatku bisa punya cukup waktu menghibernasikan diri selama akhir pekan. Hari itu aku ada pelajaran olahraga. Menyebalkan. Aku tak suka olahraga, apalagi basket. Kepalaku sudah sangat sering terkena bola basket membuatku memiliki "mini trauma" pada bola basket. Kami berkumpul di lapangan, memulai pelajaran olahraga. Kala itu, aku sedang berfokus pada bola basketku, berlatih agar nilaiku bagus tentu.
Aku duduk di pinggir lapangan. Menunggu giliranku untuk penilaian. Aku sungguh tak yakin bisa mendapat nilai yang bagus, tapi ya aku harus berusaha.
Tiba saatku untuk penilaian, aku memegang bola sedikit gemetar. Refleks, kepalaku menoleh ke kanan melihat ke arah kantin dan menangkap bayangan seorang manusia yang aku kenal. Kak Richo. Ia duduk di salah satu kursi kantin sedang melihat kearahku, kalau tidak salah. Ia mengepalkan tangannya dan mulutnya berkata tanpa suara. 'Semangat' katanya. Aku tersenyum membalasnya dan mengambil fokus pada bola basketku.
Kaos olahragaku basah oleh keringat yang terus bercucuran dari tubuhku. Olahraga yang melelahkan. Tadi aku memang tak berhasil mencapai nilai yang sempurna tapi setidaknya lebih dari standar nilai yang ditentukan.
"Eh, Bel. Tadi aku lihat Kak Richo lihatin kamu penilaian loh. Dia tungguin sampai kamu selesai. Kamu ada hubungan ya dengan Kak Richo?" ucap Gia, kembaran Gio. Ia memang anak paling tahu berita satu sekolah. Gosip dan rumor yang beredar, ia tahu semuanya.
"Loh, Eh, Tidak ada hubungan kok. Selayaknya kakak kelas dan adik kelas saja." jawabku tersenyum tipis sambil agak malu mengetahui Gia melihat kejadian tadi.
"Ah, yang benar saja, Bel? Kamu malu-malu gitu jawabnya." goda Kei padaku.
"Iya kok benar." jawabku memastikan, sembari berjalan keluar dari ruang ganti. Aku tersenyum tipis. Entah apa yang kurasakan, tapi aku merasa pipiku memerah. Sungguh apa yang ia lakukan tadi berhasil membuatku semakin bertanya-tanya.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment.Vote dan comment kalian sangat berarti. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Aneh
Teen FictionTeen Romance ~ . . . Kuceritakan tentang spesies manusia langka, si manusia aneh. Hanya satu yang kutemui sejauh ini. Akan kuceritakan segala jenis keanehannya. Bahkan aku bingung bagaimana hatiku bisa jatuh pada manusia aneh ini. . . . Kisah r...