3

98 13 2
                                    

     Sehabis olahraga, kami mengikuti pelajaran biologi. Kau tahu, aku memang bisa dibilang cukup pandai berada di kelas akselerasi, namun bagiku sendiri, biologi tidak mudah. Baiklah, aku memang belum memberitahumu. Sekali lagi, aku berada di kelas akselerasi. Hanya dua tahun aku belajar di sekolah ini. Kami hanya sebanyak pemain sepakbola, ya, kesebelasan, satu kelas. Lulusku satu tahun lebih cepat dari angkatanku yang lain. Itu berarti aku lulus satu tahun dibawah Kak Richo. Em, dan Kak Hanzel juga.

     Ditengah pelajaran, pintu kelasku diketuk. Beberapa kakak kelas, aku yakin mereka semua panitia classmeeting. Meminta ijin dengan guru yang sedang mengajar. Aku melihat Kak Richo. Tepat setelahnya, matanya melihat kepadaku. Ya, bila aku tak salah liat. Setelah bertatapan sekian detik. Senyum manisnya mengembang sempurna. Membuat wajahnya terlihat semakin ceria dan beraura. Dan demi Tuhan, aku baru merasakan aura yang semua penggemarnya katakan padaku. Baguslah aku sekarang satu derajat rendahnya seperti mereka. Maksudku bukan merendahkan, hanya aku memang tak suka para penggemar semacam itu. Mereka seperti menyukai suatu barang dari luarnya saja, tidak mengerti seluk beluknya. Hmm... setidaknya aku tidak seperti mereka yang hanya melihatnya dari kejauhan dan bahagia akan hal itu. Maksudku, jelas aku tidak bisa menyukai seseorang hanya dari penampilannya saja. Setidaknya, aku pernah berbincang-bincang tentang beberapa hal dengannya. Itu sungguh membuatku merasa agak dekat dengannya.

     Mereka memberikan beberapa kertas ke guru. Lalu, ijin, pamit dan keluar dari kelas. Aku kembali menatap Kak Richo yang berjalan keluar kelas.

     "Hayo, Bella lihat siapa? Kak Richo?" ucap Gia asal ceplos. Yang disebut namanya belum sepenuhnya keluar dari kelasku, ia menoleh melihat yang berbicara. Ia tertawa kecil disambut tertawaan temanku satu kelas. Pipiku bersemu merah. Aku malu benar. Beraninya kau, Gia. "Wah, pipimu, Bel." lanjut Gia mempermalukanku.

     "Pipinya Bella kenapa?" tanya Kak Richo tiba-tiba.

     "Merah, Kak." sorak satu kelas hampir bersamaan membuat kelasku ribut. Aku masih berusaha menutupi wajahku, menahan malu. Ia berjalan keluar kelas sambil tertawa kecil. Aduh, aku malu.

     Rasanya aku ingin hilang dari peradaban. Setidaknya aku tak harus menanggung malu itu. Pelajaran dilanjutkan. Topik itu tak dibahas lagi hingga akhir pelajaran hari itu.


     Sepulang sekolah, aku diberi tugas mengumpulkan buku pribadi ke ruang BK. Buku pribadi itu buku tentang identitas, pelanggaran, dan prestasi kita selama bersekolah.

     "Permisi." Ucapku tepat setelah aku mengetukkan tanganku ke pintu ruang BK. Aku masuk, menghampiri bilik guru BK-ku. Aku duduk di kursi biru di depan Pak Omega, guru BK-ku. "Pak Omega, ini buku pribadi kelas saya." Tepat setelah ucapanku terlontar, pintu ruang BK terbuka sedikit. Aku melongok keluar, melihat siapa yang datang. Manusia itu muncul lagi. Untuk apa dia kesini? Mengetahui ia ada, aku memalingkan wajahku menghadap meja Pak Omega. "Pak Om, saya mau konsultasi."

     "Konsultasi tentang apa, Bel?" ucapnya sembari mencari-cari sesuatu dalam lokernya. "Eh, Hanzel, kesini sebentar." Tangannya memanggil-manggil membuat yang diundang datang ke ruangannya. Aku jelas tak tahu mengapa Pak Omega memanggilnya kesini. Aku takut, kutundukkan kepala ke arah meja sembari berharap tak ada hal buruk yang akan terjadi.

     "Gimana, Pak?"

     "Kamu temani Bella sebentar. Duduk di kursi saya aja. Saya kumpulin laporan sebentar." Aku kaget, hampir terlontar dari kursi. Aku mendongak melihat mereka, setengah takut. "Bel, saya tinggal sebentar ya. Cerita dengan Kak Hanzel tuh, ayahnya psikolog loh. Lebih hebat dari Pak Om."

     "Pak Om bisa aja. Saya ndak sehebat ayah saya lah, Pak." jawabnya sembari tertawa kecil. Ini kedua kali, kurasa, aku melihat senyumnya. Hangat. Ia duduk dan meletakkan tasnya di samping kursinya.

     "Siapa tahu kehebatannya nurun ke kamu, Han." ucap Pak Om sembari keluar dari ruangan. Ini kali kedua aku berdua dengannya. Pertama sewaktu di UKS. Ini kedua kalinya. Asal kau tahu, ruangan itu bersebelahan. Ya. UKS dan BK bersebelahan bahkan dihubungkan dengan pintu geser. Itu berarti ya, aku bertemu dengannya di tempat yang bisa dibilang sama.

     Kak Hanzel duduk di depanku. Aku tahu tatapan matanya melihatku jelas. Aku takut. Berusaha mencari jalan keluar. Tak lama, ia mengambil buku dari dalam tasnya. Membuka sebuah buku dan ... belajar. Ya, ia belajar.

     "Belajar?" gumamku sendiri. Suaraku sepertinya agak keras. Kepalanya mendongak sebentar, menatapku dengan datar, lalu kembali fokus dengan bukunya. Aku merasa tak dianggap. Sungguh. Aneh. Aku dibuat tak paham dengan segala perilakunya. Menyebalkan. Aku hampir mati kebosanan. Tak ada satupun kata yang keluar dari dirinya. Aku benci, tapi aku penasaran. Ia seperti es yang sangat dingin, tapi mencair di beberapa keadaan, lalu kembali dingin.

     Pintu ruang BK terbuka agak lebar. Aku mendapati Pak Omega kembali. Aku tersenyum lebar. Senang aku tak lagi terperangkap dalam suasana super canggung ini.

     "Sudah, Han. Hanzel belajar ya? Mau lomba ya, Han?"

     "Iya, Pak. Besok sabtu."

     "Ooo, lomba apa?"

     "Biologi, Pak."

     "Ooo, belajar di bilik sebelah aja." Kak Hanzel berdiri, membawa tas dan buku-bukunya ke bilik sebelah. "Makasih lo, Han. Bella sudah ditemani kamu." lanjut Pak Omega. Aku menunggu laki-laki itu keluar dari bilik Pak Omega.

     "Gimana, Bel? Mau cerita apa?"

.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment.  

Vote dan comment kalian sangat berarti. :)

Manusia AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang