7

59 5 15
                                    

     Sehabis makan, ia mengajakku ke suatu tempat. Katanya disana itu pemandangannya bagus, bisa dibilang tempat favoritnya saat butuh ketenangan. Kami melintasi kota, lalu ke daerah perbukitan pinggir kota. Ia memarkirkan motornya di pinggir jalan. Tempat apa ini? Hari sudah mulai gelap dan ia mengajakku ke tempat yang sangat sepi. Aku takut. Tubuhku bergetar pelan. Aku turun dari motornya. Ia berdiri di hadapanku. Aku mulai takut.

     "Jangan takut." Suaranya yang lembut memanjakan gendang telingaku. Pikiranku terngiang akan sesuatu. Kata-katanya sama persis. Suasana dan manusia yang berbeda. Kak Hanzel. Aduh, dua manusia ini memenuhi pikiranku. Yang satu dengan sikap-sikap manisnya, yang satu lagi dengan keanehannya. "Ayo kesana, Bel." ajaknya ke satu tempat. Ada kursi taman disitu, satu saja, sudah agak usang kurasa. Ia duduk dan menepuk-nepuk kursi sebelah kirinya, menyuruhku duduk di sebelahnya. Aku ragu-ragu, namun tak mungkin menolaknya. Setelah duduk, aku baru menyadari begitu indahnya suguhan pemandangan di depan mataku. Berbagai lampu menyala menerangi gelapnya malam di kotaku. Kota kecil yang lenggang nan damai jadi tempat tinggalku sejak kecil. Angin bersiur mengisi keheningan yang ada. Tangan kirinya terulur di sandaran kursi belakang tubuhku. Kaki kanannya dilipat diatas kaki kirinya.

     "Kak." panggilku.

     "Iya, Bel?"

     "Sudah pernah ajak siapa saja kesini?"

     "Baru kamu dan hanya kamu sepertinya."

     "Loh, kenapa?"

     "Ini tempat favoritku dan ndak semua orang tahu tempat ini. Mana mungkin aku akan mengajak setiap orang yang kukenal ke tempat ini. Hanya yang istimewa yang kuajak kesini dan baru kamu, maksudku hanya kamu yang kuajak kesini. Jadi kamu bisa simpulkan sendiri."

     "Jadi aku?"

     "Kamu istimewa buatku."

     "Kenapa bisa?"

     "Bisa. Tentu bisa. Entah apa yang kurasakan. Melihatmu di hari pertama masuk sekolah seolah menemukan pecahan hati yang hilang. Oke, mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi, pernahkah kamu merasa bahwa pada suatu saat setiap orang akan dipertemukan dengan pasangannya dengan cara yang mengagumkan. Baik, mungkin cara kita bertemu tak terlalu mengagumkan. Ya, mana mungkin minumanku yang jatuh pada seragammu adalah sesuatu yang mengagumkan? Tentu tidak. Tapi aku merasakannya, seakan-akan hidupku menjadi lengkap saat bertemu denganmu. Itu yang kurasakan. Aku sungguh berharap kamu merasakannya juga." Ia menatapku saat mengucapkan kalimat terakhirnya tadi. Aku terbungkam mendengar semua perkataannya. Aku malu, senang, sedih, takut, dan sangat bahagia. Sungguh perasaan yang tak bisa kujelaskan, tapi aku yakin itu perasaan terbaik yang pernah kumiliki.

     "Jadi aku ini perempuan beruntung yang berhasil mendapatkan hatimu?"

     "Bukan. Aku yang beruntung telah menemukan potongan hatiku. Kenapa berpikiran seperti itu?"

     "Sekian banyak perempuan yang menginginkanmu dan aku yang kamu pilih. Aku merasa sangat egois tak membagi keberuntunganku dengan yang lain. Bayangkan saja, diajak jalan oleh cowok terfavorit satu sekolah. Itu semacam mimpi tergila setiap perempuan di sekolah dan aku, hanya gadis lugu yang bodoh dalam masalah asmaranya, yang kau pilih jadi teman kencanmu. Bahkan ini kencan pertama bagiku."

     "Hei, hei, tolong berhenti, jangan bicara seperti itu, kau tak serendah itu. Kau ini beda. Aku yakin akulah yang sangat beruntung melihat senyumanmu, tawamu, bahkan pipi merahmu. Diluar sana banyak yang menginginkanmu dan aku harusnya yang merasa beruntung bisa dekat denganmu."

     "Tapi,.."

     "Sudah, cukup jangan ucapkan lagi. Itu sudah sangat cukup. You are amazing, just the way you are." ucapnya lembut dan perlahan, menatapku lamat-lamat. Jantungku berdegup kencang. Wajahnya mendekat ke wajahku. Aku takut. Wajahnya semakin mendekat. Aku tak tahu apa yang akan ia lakukan. Aku bingung. Tubuhku mundur perlahan, namun tubuhnya juga semakin mendekat. Tangan kanannya memegang daguku, menarikku kearahnya. Aku kehabisan tindakan. Aku menutup mataku.

     Plakk!! Aku membuka mataku tepat setelah mendengar suara tamparan yang sangat keras. Aku melihat ke kedua tanganku. Bukan aku yang menampar, tapi siapa?

     "Kak Hanzel!" teriakku kaget melihat kehadirannya disini. Aku melihat Kak Richo terkapar di tanah, memegangi pipi kanannya dan merintih kesakitan. Kak Hanzel berlari kecil kearahku, sangat gelisah.

     "Kamu ndak apa-apa, Bel?" tanyanya terburu-buru.

     "Ndak apa-apa, Kak."

     "Belum diapa-apain Richo kan?" Aku tak lagi kuat menjawab. Aku menggeleng pelan, aku sangat takut. Mataku berkaca-kaca. Air mata mulai mengalir ke pipiku. Kak Hanzel menarik tanganku pelan, menyuruhku berdiri. Aku mengikutinya, pikiranku sudah tak jelas. Jantungku berdegup sangat kencang, pandanganku kabur. "Masuk." Kak Hanzel menyuruhku masuk ke mobilnya yang diparkirkan agak jauh dari tempat tadi. Aku menurutinya.

     "Kak.. Richo... gimana?" tanyaku diantara tangisanku yang semakin menjadi.

     "Biarkan. Kamu masih memikirkan si brengsek itu? Lebih baik pikirkan dirimu dulu. Kamu kuantar pulang." ucapnya agak emosi. Perasaanku makin tak stabil, aku berusaha menenangkan diri. Eh, loh. Memang dia tahu dimana rumahku?

     "Rumahku?"

     "Iya."

     "Tahu?"

     "Tahu." Mobil dinyalakan, ia mengendarai mobilnya agak cepat meninggalkan perbukitan dan berangsur-angsur pelan saat memasuki tengah kota. Aku menengok jamku. Jam setengah sembilan. Yang benar saja. Orang tuaku pasti sudah menungguku di depan rumah. Aku takut. Mataku bertambah berat, kepalaku pusing tak karuan. 


     "Bel.., Bella.." ucapku sembari menepuk punggungnya pelan. Aku mencoba membangunkannya, namun masih belum berhasil. Aku menatap wajahnya. Rasa takut yang sangat kuat terlihat di wajah manisnya. Eh, oke ya aku akui ia manis. Sungguh, mata lebarnya, pipi gembulnya, dan senyum cerianya. Aku suka. Eh, ndak, aku ndak suka. Iya, aku ndak suka. Aku suka melihatnya tapi nampaknya ia agak takut bila kupandangi terus. Memang banyak temanku yang bilang tatapanku mengintimidasi tapi kurasa tidak. Ya memang seperti ini, harus gimana lagi?

     "Hoamm..." Manusia di jok sampingku menguap, membuka matanya sedikit.

     "Bangun."

     "Sudah sampai?"

     "Sudah." Ia membenarkan cara duduknya, menghapus air matanya. Aku tahu ia tak berani masuk ke rumah sendiri. Aku akan menemaninya, bila diminta.

     "Takut." ucapnya sangat pelan.

     "Ha?"

     "Aku takut."

     "Kenapa?"

     "Orang tuaku. Aku takut dimarahi."

     "Jangan takut." ucapku lembut, ia menatapku dengan tatapan-seorang-anak-kecil-yang-baru-saja-menangis. "Kutemani?" Aku tak kuat melihatnya dalam bentuk yang begitu menyedihkan sekarang ini. Sejahat apapun, ketahuilah aku masih punya rasa kasihan. Ia mengangguk pelan. Aku menjulurkan tanganku masuk diantara lengan dan badannya, membantunya berjalan masuk. Ia sudah sangat lemas dan lagi-lagi ia menangis. Aku melihat orang tuanya berlari sesaat setelah melihatku membawa Bella ke pekarangan rumah mereka. Wajah khawatir nampak di wajah mereka berdua. Bella dibawa masuk oleh bundanya, sedangkan ayahnya berterimakasih padaku dan menyuruhku pulang cepat karena sudah malam. Ini malam yang panjang. Aku lelah, namun ada sesuatu yang menenangkan hatiku. Entah kenapa aku merasa lega. Hatiku yang panas diguyur air segar dari pegunungan, ya, semacam itu rasanya.

.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment.

Vote dan comment kalian sangat berarti. :)

Manusia AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang