9

34 3 0
                                    

     "Pulang dulu ya, Ric!" pamit Nintya pulang.

     "Ndak aku antar aja, Nin?"

     "Ndak deh, katanya kamu mau nunggu tuan putrimu itu."

      "Eheh, iya sih." ucapku mengiyakan kata-katanya itu. Aku khawatir Bella tak akan datang, aku tak yakin ia akan memaafkanku. Selama tadi aku bertemu dengannya di kantin, hanya wajah datar yang terpampang di wajah manisnya. Semangatnya tampak padam. Aku tak lagi melihat rona merah pada pipinya. Rasanya, ia tak akan mengiyakan undanganku.

     "Kak Richo!" teriak seseorang menghentikan langkahku. Aku hampir akan meninggalkan taman dan pulang ke rumah. Aku menoleh, mendapati gadis kecil dalam balutan seragam sekolah sepertiku berlari menghampiriku. Wajah manisnya sekarang tepat di depan wajahku. Senyum lebar terlukis jelas di wajahku sekarang. Kurang bahagia apa aku.

     "Akhirnya kamu datang." ucapku penuh rasa lega. Kebahagiaanku tak terbendung lagi.

     "Iya, maaf nunggu lama ya."

     "Ndak juga." Aku melihat senyum manisnya mengembang sempurna. Kukaitkan tanganku ke tangannya, melihat ekspresinya yang agak kaget. "Tenang, aku ndak macam-macam kok." kataku menenangkannya, ia mengangguk pelan, paham akanku.

     "Jadi?" tanyanya penuh harap.

     "Jadi apa?"

     "Beli es krim."

     "Jadi dong. Kan sudah janji." Aku melihat semangatnya menggebu-gebu. Ia tampak seperti anak kecil yang barusan pulih dari 'ngambek'nya lalu sangat senang saat dijanjikan beli es krim. Aku senang melihatnya begitu polos seperti anak kecil, sekaligus menawan seperti putri kerajaan.


      "Makasih ya, es krimnya enak." ucapku padanya. Aku senang ia menetapi janjinya dan sekaligus ini berarti aku telah memaafkannya.

     "Iya, sama-sama, tuan putri. Apa sih yang ndak buat kamu?" Pipiku berhasil memerah. Aduh, aku selalu tak tahan dengan kata-kata manisnya. Ucapan manis dari mulut selalu berhasil membuat pipiku merah.

      Kami memutuskan menikmati es krim di kantin sekolah yang sekarang sudah sepi, jarang yang nongkrong disini. Kantin sekolahku lumayan luas, langsung berhubungan dengan lapangan, memudahkanku melihat seisi sekolah. Aku menatap laki-laki di hadapanku. Wajahnya yang sebegitu berantakan sudah lebih baik sekarang. Setidaknya senyum manisnya membuat wajahnya jauh lebih bersinar. Kemeja sekolahnya ia keluarkan. Lengannya yang kekar ia lipat di atas meja. Aku harus membiasakan diri menatapnya dari jarak sedekat ini.

      Es krimku mulai menetes, membuatku harus cepat-cepat menghabiskannya. Ia menatapku yang sedang kewalahan menghabiskan es krim. Ia tertawa renyah, entah apa yang ia tertawakan tapi itu membuatku tak nyaman. Aku menatapnya dengan dahi berkerut, ia menginstruksikan sesuatu. Tangannya mengusap ujung bibir kanannya, membuatku sadar dan mulai membersihkan ujung bibirku.

      "Sudah?" tanyaku agak panik campur malu.

      "Itu masih ada yang kiri."

     "Mana sih?"

     "Itu lo." Tangannya maju meraih daguku lalu mengusap ujung bibir kiriku, membersihkan sisa es krim yang ada. Aku kaget, mataku membelalak, melihat reaksinya yang begitu spontan. Dari posisi seperti ini, aku sangat bisa melihat dengan jelas bentuk wajahnya yang menawan. Garis rahangnya, alis tebalnya serta matanya yang membulat sempurna. Bahkan aku tak akan merasa bosan bila disuruh melihat wajahnya setiap saat, justru itu yang kuinginkan. Melihat wajahnya setiap aku membuka mata di pagi hari, melihatnya mendatangiku yang sedang memasak di dapur, dan hal-hal lain asal itu dengannya sudah pasti sangat membahagiakanku. "Sudah." ucapnya membuyarkan segala imajinasiku. Ia telah selesai membersihkan ujung bibirku. Aku masih mematung menatapnya. Yang terakhir namun utama, selama ia masih ada di dunia ini, kebahagiaanku penuh sudah. 


      Malam itu, aku tak berkutik dari tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Kebiasaanku menunda pekerjaan makin menjadi-jadi membuatku tak bisa menyelesaikan tugas dengan baik dan pada akhirnya aku diharuskan menyelesaikannya dalam satu malam. Ya, berjaga. Ponselku berdering, membuatku kehilangan fokus atas tugas-tugasku. Ah! Siapa si gila yang berani menggangguku? Aku menatap layar ponselku. Kak Richo. Demi apapun, aku tak pernah bermaksud menyebutnya gila karena memang bukan ia yang gila tapi aku yang gila karena segala perilakunya padaku.

     'Halo?'

      'Hai, Bel. Sedang apa?'

     'Sedang mengerjakan tugas. Gimana, Kak?'

     'Aku ganggu ya, Bel? Dilanjut dulu, kapan-kapan saja deh bicaranya.'

     'Loh, eh, ndak apa-apa kok, Kak. Sedang istirahat ini.'

     'Benar ndak apa-apa, Bel?'

     'Iya, benar. Kak Richo mau bicara apa?'

     'Ndak ada sih.'

     'Loh, kok telpon?'

     'Ingin dengar suaramu saja.'

     'Eh?'

     'Kenapa, Bel?'

      'Ndak apa-apa, kok.'

     'Kamarmu ada balkonnya?'

     'Ada, kak. Gimana?'

     'Lihat ke depan rumah dong.'

     Aku berlari pelan, jantungku berdegup kencang. Aku membayangkan wujud Kak Richo ada di depan pagar rumahku sambil masih memegang ponsel dan membawakanku sesuatu. Aku cepat-cepat membuka kunci pintu balkonku, lalu melihat ke depan rumah. Ndak ada siapa-siapa. Gila. Aku dibohongi dan aku percaya padanya. Hih! Gemas!

     'Ndak ada Kak Richo.'

     'Iya, memang ndak ada.'

     'Hihh. Mau tidur saja ah.'

     'Jangan, tunggu di balkon sebentar.'

      'Kenapa emangnya?'

     'Belum sampai.'

     'Apanya?'

      Seorang laki-laki, Richo Stevano berjalan ke arah rumahku dari ujung kompleks. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas, rambutnya yang agak berantakan disisir angin dengan lembut. Ia memakai kaos hitam dengan kemeja kotak-kotak yang tidak dikaitkan dan jins belel warna biru tua. Ia masih memegang ponselnya dan melihat kearahku.

     'Sudah sampai sekarang.'

      Ia tersenyum sangat manis, aku mematikan telepon, berlari kecil ke depan rumah. Mendapatinya masih berdiri disana sembari membawa satu tas kertas agak besar, aku penasaran apa isinya.

     Aku mempersilakannya masuk, lalu duduk berhadapan denganku di ruang tamu. Orang tuaku keluar dan menyambutnya dengan hangat, ya, sejujurnya tak sehangat itu. Kejadian malam minggu waktu itu membuat orang tuaku agak berhati-hati atasku, tapi ya sudahlah. Ia menanggalkan kemeja kotak-kotaknya, menyisakan kaos hitam yang memperlihatkan tubuh kekarnya dengan jelas.

      "Ini untuk tuan putri." Ia menyodorkan tas kertas yang dibawanya tadi kehadapanku. Tas kertas ini bagus sekali. Motif polkadot mengelilingi keseluruhan tas, menghias setiap area yang ada. Pegangan tas terbuat dari tali putih yang lembut bila dibawa. Sungguh mengesankan, membuat rasa penasaranku memuncak.

      "Ini apa?"

.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment.

Vote dan comment kalian sangat berarti. :)

Manusia AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang