2, Gantungan Kunci.

21 2 0
                                    

"Garin,"

Aku menjabat tangan kekar itu. Kami memandang satu sama selain selama 5 detik dan tersenyum.

"Eum, sorry," ucapku, tak terasa bukan 5 detik lagi tapi 5 menit kami berjabat tangan dan memandang satu sama lain, hingga pada akhirnya aku dahulu yang melepaskan tautan tangan kami.

"Gausah grogi gitu," Randi tertawa kecil, aku mengerinyitkan dahi. Untuk apa aku grogi kepadanya? Bahkan kami saja baru berkenalan 5 menit yang lalu.

"Ngapain juga," desisku. Sepertinya pria ini terlalu, eum.. pede dan yah cara nya yang sok kenal sok dekat membuatku sedikit risih.

"Sudah dulu ya, terima kasih atas kunci nya," aku menggelanggang pergi. Randi tetap terpaku ditempatnya sembari tersenyum kecil.

"Tidak masalah, sampai jumpa lagi Garin,"

Aku melanjutkan langkah kakiku bersama derasnya hujan sore ini. Tiba-tiba aku teringat, sudah bukul berapa ini?

Mataku melotot pada jam tangan berwarna peach yang terpasang di pergelangan tanganku.

Astaga!!! Sudah pukul 5 lebih 25 menit, aku akan terlambat bekerja paruh waktu. Kalau kalian tahu, hal yang aku takuti di dunia ini selain Tuhan dan kedua orang tuaku adalah, bos di tempatku bekerja.

Walaupun aku sedang menempuh studi sastra inggris-ku di salah satu universitas ternama, aku tetap saja mengambil pekerjaan paruh waktu.

Ya, selagi mengisi kekosongan jam ku yang ketika tidak ada kelas, juga menambah uang saku sehingga aku tak perlu meminta kepada Ibu.

"Rin!," teriakan seseorang tidak asing di telingaku. Hm, siapa lagi kalau bukan suara temanku, Arisa.

"Loh tumben lo keluyuran jam segini," Arisa berlari ke arahku sambil nafasnya terengah engah.

"Jangan lari ris, hujan tau," aku memicingkan mata melihat Arisa yang memelankan larian nya dengan jas hujan tosca menempel ditubuhnya.

"Baru tau ada orang jalan kaki pake jas hujan, biasanya payungan," ia melirik payung abu abu yang ku kenakan.

"Anti mainstream tau," Aku tertawa cekikikan melihat perilaku temanku satu ini, ada ada saja.

"Rin, nggak kerja?" Aku dan Arisa melanjutkan berjalan kaki ke arah tempatku bekerja.

"Iya nih, tapi gue bakal telat," Arisa menyeringai, sepertinya ia memberiku sebuah kode untuk membolos bekerja.

"Tidak," aku meliriknya tajam. Arisa merubah raut wajahnya seperti anak anak anjing yang menyedihkan. Aku tertawa kecil, dan tetap menggeleng. Bolos kerja bukanlah hal yang menyenangkan, bisa saja tingkat produktivitas kita dianggap menurun dan didepak kapanpun dari tempat pekerjaan kita. Huh, jangan sampai ya.

"Ah pelit lo rin," Dengan menginjak genangan air sambil menggerutu, Arisa melipat kedua tangan nya dan berjalan mendahuluiku.

"Bodoamat,"
"Tapi malam minggu ntar, ke Immigrant yuk," Immigrant adalah salah satu kelab malam tersohor di Jakarta, terkadang aku dan Arisa menghabiskan malam minggu disana hanya untuk sekedar minum, walaupun aku tidak menyukai minuman beralkohol, aku hanya memesan soda dan makanan ringan, sementara Arisa datang ke dance floor untuk mencari pasangan yang dia ajak menari.

"Nggak bosen apa?," tanyaku, Arisa terkekeh, "Nggak lah, gue mau ketemuan sama temen yang baru aja balik dari France, ntar gue kenalin deh,"

Aku melengos pasrah, "Yaudah, jemput ya, males bawa mobil. Akhir akhir ini hujan, kotor semua,"

"Yaudah gue jemput aja, pokoknya lo harus ikut gue,"

"Iya deh," Pasrah. Satu kata itu cukup mewakili perlakuanku kepada Arisa, ketika 2 tahun yang lalu aku datang ke kota ini untuk menempun studi sastra inggris-ku, ialah mahluk pertama yang aku jumpai. Hingga sekarang, kami menjadi teman dekat.

"Yeaaaay! See you on saturday night! Garin emang terbaik,"

"Halah monyet,"

Seminggu pun berlalu dengan sangat cepat setelah pertemuanku bersama Arisa sore itu.

Malam ini, kami akan pergi ke sebuah kelab malam. Hm, apa yang harus ku kenakan? Arisa bilang, ia akan mengajakku bertemu dengan teman nya, tidak mungkin aku berpakaian gembel.

Memakai short dress? Itu bukanlah ide yang buruk, tetapi aku ingin saja menggunakan baju yang santai.

Aku melirik lemariku, inilah kelemahan wanita, ketika mau pergi mereka selalu mengatakan bahwa mereka tidak memiliki baju, padahal didalam lemari isinya sudah segunung.

Pada akhirnya aku memutuskan memakai gold skirt dan tanktop putih, terlihat polos ya? Yasudah haha.

Tatanan rambut kubuat sesimpel mungkin, hanya ku braid biasa.

Ting Tong. Suara bel apartement ku berbunyi, sudah pasti itu Arisa.

"Bentar, ris," aku kembali menatap kaca untuk memastikan penampilanku malam ini sekali lagi.

Aku berjalan cepat ke arah pintu dan langsung membukanya. Namun, seseorang yang berdiri disana bukanlah Arisa, tetapi sesosok yang kutemui sore hari tadi.

"Hai, nona gantungan kunci," Randi tersenyum ramah terhadapku.

"You???" aku memicingkan mata menatapnya. Kami baru berkenalan seminggu yang lalu dan tidak bertemu lagi, jadi darimana dia tahu tentang alamatku?

Ini sudah tidak benar.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang