Prolog

9.5K 252 8
                                    


Halo ini cerita ke lima ku, yang dua diantaranya sudah completed. Disini aku hanya mencoba menulis, mencurahkan apa yang ada dalam pikiranku. Semoga kalian suka, selamat membaca. Harap bijak menangkap makna yang ada dalam cerita ini dan maaf atas segala kesalahan baik itu penyusunan kalimat atau typo yang banyak. Terima kasih 😊😊

Dengan tangan bergetar dan menahan isak tangis, aku menekan nomor dari kertas itu di ponselku lalu menekan "call". Aku menunggu beberapa saat karena panggilanku tidak langsung diangkatnya. Dalam hati, kalau memang dia tidak mengangkat maka aku akan merobek kertas yang ada ditanganku saat ini.

Takdir. Disaat aku akan menutup telepon itu terdengar suara dari seberang sana "Hallo". Entah kenapa seketika aku seperti mendapat asupan berharga. Rasanya sama saat aku berada di kelas dan mendengar tawa renyah anak muridku.

"Hallo.... Ini Hanna," ucapku dengan bergetar.

"Kenapa Hanna?, " seketika suaranya berubah panik.

"Bisa kita mengobrol seperti yang kamu tawarkan tadi?."

"Iya, tentu."

"Aku tunggu didepan komplek ku," dan langsung kututup sambungan teleponnya.
Dari depan rumah, aku berjalan dengan pandangan lurus kedepan. Menembus hujan yang membuat ku kedinginan. Maaf, bukannya ingin seperti adegan yang ada didalam drama. Aku hanya sudah tidak peduli pada apapun lagi. Aku tidak mempunyai waktu untuk memikirkan bagaimana caranya melindungi sendiri dari hujan dengan payung atau apapun karena nyatanya aku pergi dari rumah begitu saja. Sekarang ini yang aku inginkan hanya terus berjalan untuk pergi menjauh dari Vino.

Sesampainya di depan komplek, aku menunggu beberapa menit sampai akhirnya kulihat Dirga turun dengan terburu-buru dari mobilnya dan membukakan payung lalu menghampiriku. Aku terdiam membeku dan memandangi wajahnya. Dalam pikiranku sendiri, kenapa tadi aku menghubunginya?. Kenapa aku menginginkan dia datang?. Apa karena ajakannya tadi sebelum mengantarkanku pulang?. Berputar-putar otakku mencari jawaban yang tepat, tapi nyatanya yang aku dapatkan adalah karena aku hanya ingin menghubunginya.

Cukup lama kami saling menatap, sampai akhirnya tangan yang besar dan hangat itu menghapus air mataku yang mulai terlihat turunnya setelah dipayungi olehnya. Aku tidak menepis atau melakukan apapun untuk menghalanginya, yang aku lakukan hanya diam saja.

"Jangan menangis," ucapnya ditengah kesunyian kami yang semakin membuatku terus menatapnya dan mengikuti arah bola mata hitamnya yang bergerak.

"Aku.. tidak tau kenapa meneleponmu dan aku juga tidak tau kenapa menginginkan kamu datang. Aku sendiri bingung. Aku terus memikirkan kenapa, tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Yang aku tau hanya apa yang aku rasakan saat melihat kamu adalah sama seperti ketika aku menemukan anak muridku yang tertawa untukku sehingga membawakan aku sebuah kekuatan yang dibutuhkan oleh ku untuk tetap berdiri disaat aku sama sekali tidak bisa tersenyum atau tertawa," ucapku yang mengalir begitu saja dari mulutku namun tetap ada kegugupan yang tidak bisa kutahan.

Aku tidak tau kalau respon yang akan diberikannya adalah senyuman hangat itu. Senyuman yang membuatku beberapa kali membeku. "Aku senang mendengarnya Hanna."

"Aku juga senang mendengarnya Dirga," balasku. Awalnya aku menyesali telah mengatakan hal tadi. Takut kalau ini hanya kurasakan sendiri, tapi setelah mendengarnya aku tau bahwa aku tidak merasakannya sendiri.

Part 1

Tawa mereka dan kesedihannya

Aku bahagia mendengar suara ceria dari setiap anak kecil yang ada dihadapanku saat ini. Mereka tertawa lebar sekali. Aku juga sangat senang melihat ekspresi bahagia mereka, namun saat aku menikmati itu semua tatapanku berhenti pada satu sudut. Dimana ada seorang anak perempuan yang sangat cantik sedang memandang ke arah luar jendela. Aku menjadi tertarik dengan anak itu. Sayang, aku belum mengetahui namanya karena memang ini adalah hari pertamaku mengajar disini menggantikan Ibu Sonia yang berhenti bekerja karena akan menikah. Karena terus menatapnya, dia menoleh ke arahku dengan mata dan raut wajah sendu namun saat melihatku berubah menjadi sangat manis.

"Tenang dulu ya semuanya. Ibu sekarang ingin mendengar kalian mempekenalkan diri seorang-seorang. Ibu guru kan sudah memperkenalkan diri. Sekarang giliran kalian, supaya kita bisa saling mengenal. Ayo mulai dari kursi paling depan." Setelah perkataanku, anak-anak mulai memperkenalkan dirinya masing-masing hingga sampai pada anak perempuan cantik itu yang memperkenalkan dirinya.

"Halo ibu Hanna, nama saya Rania." Katanya dengan riang dan senyuman yang lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. Aku menatapnya teliti, tadi anak ini terlihat begitu sedih tapi saat ini dia bisa tersenyum begitu ceria. Tadi, disaat anak lain yang berada dikelas ini penuh tawa canda, anak ini seakan mempunyai kesedihan tersendiri yang membuatku merasa penasaran. Hal apa yang membuat anak ini terlihat sedih seperti tadi?. Hatiku tersentuh hingga aku tidak sadar sudah memandanginya cukup lama.

"Ibu guru?." Tanya Rania mengejutkanku.

"Ah iya, maaf. Siapa nama kamu tadi sayang?" tanyaku ulang karena aku tadi hanya sibuk melihat matanya.

"Rania." Jawabnya dengan senyum ceria.

"Nama yang bagus dan cantik."

Jam pelajaranku berakhir. Aku membereskan buku-buku di atas meja. Tepat saat akan beranjak pergi, aku kembali tertarik oleh pemandangan disudut dekat jendela tadi. Rania masih memandangi ke arah luar jendela. Karena ingin tau apa yang dilihatnya aku mencoba mengikuti arah tatapan matanya. Hah?, mungkinkah Rania melihat sebuah pohon besar tua yang ada di dekat lapangan bola?. Aku jadi ingin tau, kenapa dia terus melihat pohon itu?, padahal tidak ada siapa-siapa disana. Saking penasarannya, aku menghampiri Rania.

"Hai Rania." Sapaanku membuat Rania agak terkejut namun akhirnya dia tersenyum.

"Hai ibu guru Hanna."

"Kenapa kamu tidak istirahat ke kantin sama temen-temenmu?. Kamu baik-baik saja?," tanyaku hati-hati.

"Rania lagi ingin dikelas saja bu," jawabnya dengan senyum indah yang membuatku begitu menghangat. Tapi tidak tau kenapa aku merasa dibalik senyum manisnya itu tetap tersimpan kesedihan, dan... kesepian dan entahlah sebenarnya hal apalagi yang tersenyembunyi dibalik matanya itu.

"Syukurlah. Ibu cuma takut Rania sakit." Jelasku.

"Bu Hanna tidak perlu khawatir. Aku tidak sakit." Rania tersenyum lebih lebar lagi seakan menyakinkanku kalau dia baik-baik saja.

"Ya sudah kalau begitu Rania, ibu guru mau ke ruang guru dulu. Tapi kalau ada apa-apa kamu bisa datang ke bu guru untuk bercerita atau apapun itu. Anggaplah bu guru temanmuya."

**

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang