Part 5

1.9K 105 2
                                    

Matanya dan mataku

Keesokkan harinya aku menghampiri Winni yang sedang asyik dengan laptopnya. Aku ingin menanyakan apa aku boleh melihat contoh RPP sekolah ini karena aku ingin menyamakan dengan kepunyaanku barangkali ada yang kurang atau salah. "Winn, boleh aku pinjam contoh RPP sekolah ini?," tanyaku yang membuat Winni melihat kearahku.

"Boleh dong Hann. Ada di flashdiskku. Udah yang punyaku beres, aku pinjemin ke kamu ya. Kamu udah beres buat RPP satu tahun kedepan?."

"Udah. Aku pinjem punya kamu buat ngecek, takutnya ada yang kurang atau salah sama yang aku buat."

"Syukur kamu udah beres, soalnya kepala sekolah disini tegas banget. Semua guru harus menyelesaikan RPP untuk dipakai selama satu tahun kedepan sebelum tahun ajaran sekarang berakhir. Sepertinya karena kamu baru pindah, Pak Rendra memberikan kelonggaran." Jelas Winni memberi tahu.

"Iya aku beruntung dapat keringanan. Oh ya, aku sekarang bakal mulai jadi guru les privat Rania." Winni langsung terdiam ketika mendengarkan perkataanku dan langsung menyingkirkan laptopnya.

"Waw, bagaimana bisa?." Aku heran kenapa reaksi Winni sebegitu hebohnya.

"Ayah Rania nawarin aku karena dari kemarin aku nemenin Rania buat belajar sama-sama sambil nunggu ayahnya jemput. Kan tau sendiri ayah Rania sibuk banget. Jadi sering telat buat jemput." Jawabku.

Mata Winni berbinar-binar mendengarku. "Wah kamu beruntung, Hann."

"Hah?.Berntung?." Aku semakin tidak mengerti dengan reaksi Winni.

"Ayah Rania itu kan ganteng banget." Langsung saja tawaku pecah. Aku kira hal yang serius.

"Jadi karena itu kamu anggap aku beruntung?."

"Iyalah, kamu bisa tiap hari ketemu cowok ganteng. Eh lupa kamu kan udah punya suami. Beda sama aku yang jomblo. Laki-laki yang tiap hari diliat ya papah sama Ka Kenzo aja." Aku hanya geleng-geleng mendengar jawabannya. Tiba-tiba saja aku teringat wajah ayah Rania. Ya ampun ada apa denganku?. Kenapa aku tiba-tiba memikirkannya.

"Hanna ini flashdisknya, kenapa kamu jadi ngelamun?." Aku jadi gelagapan karena terpergoki sedang melamun oleh Winni.

"Ah maaf, makasih ya Winni."

"Jangan bilang kalau kamu jadi ngebayangin ayah Rania, Hanna." Winni tertawa cekikikan dan untuk kali kedua dalam hari ini aku menggeleg geleng untuk kelakuan Winni dan mengabaikan perkataannya. Padahal hatiku ketar-ketir ketakutannya.

Jam pelajaran baru usai, Rania terlihat berbinar-binar. Dia berdiri, menunggu teman-temannya keluar dan saat teman-temannya sudah keluar dia menghampiriku. "Wah seneng sekali teman ibu satu ini," godaku padanya.

"Tentu dong aku seneng, hari ini aku bakal pulang sama temanku. Jadi aku tidak akan kesepian dirumah." Aku menjadi tidak menyesal mengambil keputusan untuk menjadi guru les Rania jika Rania sesenang ini. Membuatku jadi ikut tersenyum dan mengatakan kalau aku juga senang akan ikut pulang bersamanya.

Tidak lama dari itu ayah Rania muncul dengan penampilan yang selalu membuatku kagum. Setelan kerja yang berwarna biru navy begitu kontras dengan kulit putih terangnya. Aku terpana untuk beberapa saat dengan penampilannya. Hingga aku menyadari kalau aku telah melakukan kesalahan. "Ayo" ajaknya yang langsung membuatku dan Rania membereskan tas kami dan beranjak untuk mengekorinya. Rania mengulurkan tangan, meminta tanganku untuk digenggamnya dan jalan bersama.

Aku sedikit berbisik padanya. "Rania gandengan sama ayah Rania aja, biar ibu jalan dibelakangnya." Bukan Rania yang menjawab, tapi ayahnya langsung menoleh padaku dan berkata. "Tidak apa-apa Bu Hanna, biar saya saja yang jalan dibelakang kalian. Ladies first."

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang