Part 3

2.6K 145 6
                                    


Hujan dan kita

Kelas sudah selesai dan anak-anak sudah pulang semua kecuali Rania. Dia masih diam dikelas dengan arah pandang yang sama. Membuatku masih bertanya dengan pertanyaan yang sama. Apa Rania tidak bosan melihat satu objek sesering itu?. Aku menghampirinya untuk bertanya. "Kenapa Rania belum pulang?." Rania menoleh dari jendela dan kini menatapku.

"Aku sedang menunggu ayah, Bu Hanna." Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya sambil berpikir bagaimana cara untuk mulai mendekati Rania sehingga dia nanti mau berbagi cerita denganku.

"Baiklah ibu akan menemani Rania disini sampai ayah Rania datang. Boleh kan?." Aku bersyukur Rania menjawab dengan anggukan. "Rania mau ngobrol dengan ibu?. Ibu bosan enggak ada temen buat diajak cerita." Ujarku dengan nada merajuk padanya. Tidak disangka Rania meresponsnya dengan tersenyum jenaka. Ya ampun wajahnya sangat cantik.

"Bu Hanna sudah besar, tapi seperti anak kecil." Kata Rania dengan wajah menggemaskan.

"Memang ibu gak boleh bosan seperti anak kecil kalau gak ada temen?." Tawa Raniapun pecah dan aku kaget karena tawanya sangat indah. Aku baru kali ini mendengar Rania tertawa.

"Bu Hanna benar-benar seperti anak kecil."

"Biarin, ibu juga kan pengen punya temen." Balasku sambil menjawil hidung mancung miliknya. Menggemaskan sekali.

"Jangan cubit hidungku bu. Nanti hidung mancung yang turun dari ayahku ini hilang." Sekarang giliran tawaku yang pecah dan Rania mengerucutkan bibirnya. Oh aku sungguh suka dengan Rania yang seperti ini.

"Kalau gitu jadi temen Bu Hanna. Kalau Rania mau, ibu tidak akan menjawil hidung Rania lagi. Bagaimana?, mau jadi temanku?." Tawarku padanya dan dia tampak lama memikirkannya hingga aku akhirnya menyerah lalu berdiri. "Ya sudah kalau Rania belum bisa jadi teman Bu Hanna gak apa-apa." Sambungku sambil tersenyum dan mengelus rambutnya. Aku tidak ingin membuat Raina merasa tidak enak atau merasa bersalah.

Baru aku akan pergi meninggalkan meja Rania, kalimatnya menghentikan langkahku. "Baiklah, aku mau jadi teman Bu Hanna." Rania tersenyum lebar kemudian menyodorkan kelingkingnya untuk pinky promise. "Tapi janji Bu Hanna bakal nemenin Rania kalau Rania kesepian." Aku yang mendengarnya tersenyum lebar dan langsung menerima syarat itu. Pikirku, jika aku jadi temannya walaupun aku tidak dapat menemukan penyebab Rania sedih aku dapat menghiburnya saat dia bersedih.

"Tapi janji juga jadi teman ibu kalau ibu sedang bosan." Rania dan aku saling mengaitkan jari dan kami berdua tertawa bersama. Sampai satu suara menghentikan tawa kami berdua.

"Rania." Kami berdua menoleh berbarengan ke arah pintu kelas. Disana sudah berdiri laki-laki dengan perawakan tegap memakai kemeja biru laut dan celana kerja hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih bersinar. Tampilannya sangat rapi, mulai dari atas sampai bawah. Laki-laki itu sangat tampan. Aku menyadari kalau dia sepertinya ayah Rania. Terlihat dari wajah mereka yang serupa.

Cukup lama kami hanya diam saling berpandangan. Aneh sekali. Buru-buru aku menyadarkan diri dengan memutuskan pandangan dan menoleh pada Rania. "Rania, itu ayah Rania?." Rania mengiyakan. Langsung aku berdiri untuk membantunya mambawakan tas dan mengekori Rania berjalan ke arah ayahnya.

"Maaf ibu guru saya terlambat menjemput Rania." Kalimat pertamanya padaku membuatku terdiam lagi entah karena apa. Ya Tuhan, ada apa denganku?.

"Ya... Tidak, tidak apa-apa." Aku merutuki diriku sendiri yang menjawab dengan agak gugup.

"Terima kasih sudah menemani Rania."

"Sudah jadi kewajiban saya. Perkenalkan saya wali kelas baru Rania. Nama saya Hanna Sastrajaya." Aku mengulurkan tangan untuk dijabatnya dan ketika tangannya menjabat tanganku tidak tau kenapa aku merasakan sesuatu yang lain lagi. "Saya ayah Rania, nama saya Dirga Argantara. Senang berkenalan dengan anda Bu Hanna." Mata kami benar-benar saling bertemu dan bertatapan.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang