Empire of German – Kingdom of Saxony
* * *
Dresden, Oktober 1910.
* * *
"Maaf tuan, apa begini cukup?"
"Eum, mungkin..."
"Ah, kalau begitu saya akan menggantinya!"
"Se-sebentar! Tidak perlu! Tidak perlu!"
Ini sudah dua hari. Dan keributan murahan macam begini masih saja terjadi-lagi. Otto hanya memasang wajah kasihan ketika tuannya kembali duduk di kursi dan memandang kanvas, kosong.
"Benar-kah?" Otto mendekati tuannya. "Kalau begitu, saya permisi."
Yah, pria yang diberi anggukan hormat hanya mengangguk. Mulai memegang pensil dan kuas, namun belum berani untuk menyelupkannya ke dalam cat minyak yang sudah ia aduk secara bodoh. Uh, komposisi warnanya benar-benar tidak logis.
Matanya malah memicing ke arah model kayu yang teronggok menyedihkan cukup jauh darinya. Tepat lurus.
"Aku," Gulp, menelan ludah sedikit boleh lah. "Aku bisa. Aku harus bisa. Aku-"
Dia terbatuk.
"-tidak bisa..."
Kuasnya ia buang.
Ck, sudahlah. Masa bodoh dengan keadaannya. Jangan terlalu dipikirkan. Hanya masalah seseorang yang tidak mampu menyaksikan sesuatu yang sedikit erotis.
Ini adalah fragmen paling sia-sia di suatu pertengahan musim gugur. Yang diperankan oleh seorang bangsawan berusia dua puluh tahunan. Entahlah, jangan tanya siapa namanya. Jika kalian menyandingkan deretan kata yang membentuk namanya dengan bagaimana keadaan fisiknya, itu akan menimbulkan sebuah ketidakserasian terbesar di paruh abad ini.
Daniel Heinrich Melchiades, Erzherzog zu Sachsen.
Marga dan gelar jermanik-nya sangat mencolok.
Tapi maaf, matanya kecil, dan kulitnya pucat.
Salahkan ibunya. Dia menjadi begini juga karena ibunya-putri menteri besar Daehan. Blasteran. Raja Friedrich menikahi wanita bangsawan Kang itu saat ia berkunjung ke Hanseong dua puluh satu tahun yang lalu.
Nah, lihat. Sekarang dia beranjak dan menghampiri cermin besar berbingkai ornamen sulur berwarna kuning gading.
"Bung, sampai kapan kau bisa melukisnya dengan sempurna? Bahkan melihat manekin kayu tanpa busana saja kau ingin muntah?" Monolognya, pada pantulan wajah manisnya sendiri.
Memang nasibnya begini.
Menjadi orang kelas atas tak membuatnya bebas dari ujian melukis figuratif. Statusnya, sama seperti pelajar seni rupa di Hochschule für Bildende Künste lainnya.
"Arrrrhh, sial! Mengapa aku tidak bisa melihat orang dewasa telanjang?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apsara [Wanna One]
Short StoryDia bilang, di balik wajah awan, ada dewa-dewa yang sibuk dengan ponselnya masing-masing; sembari sesekali, tersenyum geli. [One Shot-Two Shot Compilation/All Wanna One Pairs/Wanna One Fiction] Cover Photo © Cereal Magazine